Kebijakan BMAD Dinilai Seperti Kejar Setoran, Faisal Basri Minta Menkeu Kaji Ulang

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 21 Agu 2024, 20:10
Muslimin Trisyuliono
Penulis
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Ekonom Faisal Basri Ekonom Faisal Basri

Ntvnews.id, Jakarta - Ekonom Faisal Basri mengkritik kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Menurutnya kebijakan ini terkesan seperti upaya kejar setoran sebelum memasuki bulan Oktober dan terkesan terburu-buru.

Faisal menyebut hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan tentang motif dibalik penerapan kebijakan tersebut. Serta ia menilai cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah dan juga KADI ini tidaklah elok dan penuh inkonsistensi.

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) pada awalnya telah melakukan kajian yang menghasilkan angka dibawah 40% untuk BMAD. Namun secara mengejutkan, kajian ini ditolak.

Pada kajian kedua menampilkan angka jauh lebih tinggi, yakni 100-200%. Perubahan drastis ini terjadi hanya setelah ketua KADI dipecat dari jabatannya karena menolak merubah hasil kajian. Hal ini menurut nya dianggap sangat mencurigakan.

"Hasil kajian kok diganti ganti, lalu setelah dipecat itu kemudian keluar kajian baru yang sudah berubah angkanya menjadi 100%, sampai 200%. Ini kan aneh dan sangat mencurigakan, kalau dalam istilah ekonomi internasional, ini masuk kategori predatory dumping," ujar Faisal dalam keterangannya, Rabu (21/8/2024).

Baca juga: Rencana Tarif Anti Dumping 200 Persen Dikritik, Bisa Picu Perang Dagang dan Menambah PHK

Kebijakan ini berdampak langsung pada pasar impor, dimana tidak ada perusahaan yang mau melakukan impor akibat dari tarif tinggi tersebut. Akibatnya, terjadi kelangkaan pasokan impor yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga dalam negeri hingga dua kali lipat karena ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan.

Menanggapi hal ini, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) menyatakan bahwa pihaknya tidak akan menaikan harga.

"Bagaimana tidak akan naikkan harga, lha pasokannya turun separuh ya harga naik. Supply demand kan”. Ini pembodohan publik. Lalu bilang kalau aturannya (WTO) berubah, aturan mana yang berubah? WTO saja tidak melakukan perubahan peraturan,” ujar Faisal.

Faisal juga menambahkan bahwa jika Tiongkok melakukan retaliasi, dampak negatifnya tidak hanya akan dirasakan oleh industri keramik saja. Namun juga industri lain seperti sawit, batu baran, kertas, nikel dll.

Faisal menjelaskan, permasalahan utama yang dihadapi industri keramik dalam negeri bukanlah impor produk porselen, melainkan persaingan internal. Menurutnya perlu dilihat lebih lanjut kenapa perusahaan bisa bangkrut.

Baca juga: Ini 7 Jenis Barang yang Diawasi Satgas Impor Ilegal, dari Pakaian hingga Keramik

Hal hal ini tidak bisa semena-mena dilihat hanya dampak dari kebijakan impor, yang perlu diingat adalah ada dampak dari pandemi COVID-19. Bisnis-bisnis pada COVID-19 juga mengalami ambles dan kemudian juga mengalami recovery.

Di Indonesia, industri keramik lebih banyak berfokus pada produksi keramik merah, yang tidak terkena dampak impor secara langsung.

"Yang dipermasalahkan porselen padahal produksi Indonesia keramik tanah merah. Ini tidak ada impor, namun persaingan dalam negeri yang cukup banyak ada 20-30. Tapi yang disalahkan keramik impor,” jelas Faisal.

Faisal mengkritisi cara-cara yang tidak elok yang dilakukan dalam penerapan kebijakan ini. Menurut laporan, dasar kebijakan ini hanya melibatkan 3 perusahaan yang mewakili 26% suara dari industri keramik, sehingga keputusan tersebut tidak representatif.

Ia menekankan pentingnya memperkuat analisis KADI dan menghindari pengusaha yang bisa menjustifikasi data yang tidak akurat untuk keuntungan pribadi.

Faisal mengingatkan bahwa indonesia harus berhati hati dalam mengambil keputusan yang bisa merugikan perdagangan internasional.

"Kita tidak bisa tawar-menawar dengan kebijakan antidumping. Jika terbukti, ayo kita buat tarif yang ideal, tapi tidak dengan cara seperti ini (menggunakan menteri untuk mendesak pemerintah)," tandasnya.

x|close