Ntvnews.id, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan pembentukan ekosistem hilirisasi menjadi salah satu syarat penting bagi pengusaha di sektor pertambangan yang ingin memperpanjang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
"Syarat utama PKP2B, kita lakukan perpanjangan, salah satu syaratnya adalah harus membangun hilirisasi," ucap Bahlil saat konferensi pers di Jakarta, Senin, 25 November 2024.
Kebijakan itu, lanjut Bahlil, diambil untuk mendukung arahan Presiden Prabowo yang ingin mendorong hilirisasi sumber daya alam dengan tujuan, meningkatkan nilai tambah domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang dapat melampaui angka 8 persen.
Ia juga memaparkan, persyaratan ini dirancang untuk mendiversifikasi sumber pendapatan Indonesia, agar tidak terlalu bergantung pada ekspor komoditas mentah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor LPG yang masih cukup tinggi.
Baca juga: Erick Thohir: Presiden Prabowo Siap Bantu Rp200 Miliar untuk Timnas
"Kita mengimpor sekitar 6 juta ton LPG setiap tahunnya, sementara konsumsi LPG domestik mencapai 8 juta ton. Sementara industri LPG dalam negeri hanya memproduksi antara 1,6 hingga 1,8 juta ton, sisanya harus diimpor. Kita ingin memproduksi gas dengan komposisi C3 dan C4, yang sangat terbatas di Indonesia," kata Bahlil.
Menurutnya, untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo, pemerintah telah menyusun peta jalan yang mencakup 28 komoditas utama hilirisasi. Sekitar 91 persen dari komoditas ini berada di bawah kewenangan Kementerian ESDM, dengan kebutuhan investasi mencapai 618 miliar dolar AS hingga tahun 2040.
"Sekitar 91 persen dari total investasi yang dibutuhkan, yakni 618 miliar dolar AS, berada di bawah Kementerian ESDM," jelasnya.
Baca juga: Kapolri Turunkan Irwasum dan Propam Kawal Kasus Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
Selain menetapkan hilirisasi sebagai syarat untuk perpanjangan PKP2B, Menteri Bahlil juga menyatakan bahwa alokasi produksi mineral akan dibagi secara merata di kalangan pengusaha, dengan cara membagi porsi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang berlaku di sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Kebijakan ini diambil setelah ada permintaan dari salah satu perusahaan domestik yang menginginkan alokasi porsi RKAB yang lebih besar.
"Ada satu perusahaan yang meminta porsi RKAB hingga 30-40 persen dari total produksi. Untuk nikel, produksi kita mencapai 150 juta ton, namun ada yang meminta sekitar 50 hingga 60 juta ton," jelas Bahlil.
(Sumber: Antara)