Ntvnews.id, Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia, Nina Sapti, menyoroti pentingnya pendekatan langsung dalam distribusi subsidi dan bantuan bagi petani di Indonesia. Hal ini diungkapkan Nina Sapti ketika menjadi narasumber dalam acara Merah Putih di Nusantara TV.
Ia menilai, jika target Indonesia untuk mengurangi impor beras hingga nol pada 2027 ingin tercapai, maka perlu ada perubahan mendasar dalam sistem distribusi insentif kepada petani, mengacu pada praktik terbaik dari negara lain seperti Jepang.
"Ini target luar biasa. Jadi saya sangat apresiasi bahwa target itu semakin cepat semakin baik. Hanya problemnya, kita harus bisa memetakan," kata Nina. Menurutnya, jika target dimajukan ke tahun 2027, pemerintah perlu memiliki peta yang jelas terkait hambatan-hambatan yang ada di lapangan.
Nina menekankan bahwa inflasi pangan, terutama beras, merupakan isu krusial yang perlu ditangani. “Kita harus membuat ini nol,” tegasnya. Namun, ia menyoroti bahwa distribusi subsidi yang tidak langsung kepada petani menjadi salah satu penghambat utama.
Program Merah Putih di Nusantara TV. (Tangkapan layar Youtube Nusantara TV)
Nina membandingkan kebijakan pertanian Indonesia dengan Jepang, yang dinilainya lebih efektif karena bantuan diberikan langsung kepada petani.
“Kalau kita bandingkan negara lain seperti Jepang, subsidi insentif langsung diberikan ke petani, termasuk alat-alat pertanian. Kalau ini kan perantara, misalnya mau dikasih traktor, tapi lewat koperasi atau unit usaha,” jelasnya.
Ia menyebut model distribusi subsidi di Indonesia sering melibatkan terlalu banyak perantara, yang pada akhirnya menambah beban biaya dan memperumit akses petani terhadap bantuan. “Kalau harganya lewat perantara, tentu markup-nya ada. Petaninya juga susah,” tambahnya.
Menurut Nina, sistem bantuan langsung kepada petani, seperti yang dilakukan Jepang, memungkinkan mereka memiliki alat baru setiap tahun dan akses pendanaan yang lebih mudah.
Ekonom UI Nina Sapti (YouTube)
“Maka petani aman. Jadi punya insentif untuk punya alat baru terus setiap tahun. Dan dia punya kemampuan untuk pembiayaan dibantu langsung, reimbursement sifatnya,” katanya.
Ia juga menyoroti berbagai permasalahan dalam distribusi subsidi di Indonesia, mulai dari alokasi dana hingga proses pencairan yang tidak efisien. “Kalau pupuk, misalnya, siapa yang distribusi? Jadi ada masalah di distribusi, alokasi dana, hingga proses pencairan,” katanya.
Nina percaya bahwa pembenahan sistem ini harus menjadi prioritas jika pemerintah ingin mencapai target impor nol. “Hal-hal seperti ini sudah menjadi PR bertahun-tahun. Saya yakin sudah dicatat sama beliau,” tutup Nina.
Dengan perbaikan distribusi subsidi yang lebih langsung dan efektif, Nina optimistis target swasembada beras dapat dicapai dalam waktu yang lebih cepat.