Industri Tembakau dan Pertumbuhan Ekonomi: Pentingnya Kajian Mendalam soal Kebijakan Penyeragaman Kemasan Rokok

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 24 Feb 2025, 17:49
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ilustrasi kemasan rokok. Ilustrasi kemasan rokok. (Ntvnews.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Industri tembakau memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dinilai berpotensi menghambat target pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.

Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Anetta Komarudin, menekankan bahwa industri tembakau memainkan peran penting dalam mendorong perekonomian. Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa penerapan kebijakan penyeragaman kemasan rokok dapat berdampak negatif terhadap upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

Dari sisi pendapatan negara, sektor ini memberikan kontribusi signifikan melalui penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang pada 2024 mencapai Rp216,9 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri tembakau menyumbang 4,22 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Puteri menegaskan bahwa angka tersebut menunjukkan besarnya peran industri ini dalam mendukung perekonomian nasional dan daerah.

"Industri ini punya multiplier effect yang dihasilkan melalui ekspansi investasi, penyediaan lapangan kerja dari hulu ke hilir, serapan tenaga kerja, pemanfaatan bahan baku, hingga kontribusi pada cukai hasil tembakau," ujar Puteri dalam keterangannya, Senin, 24 Februari 2025.

Selain itu, Puteri juga menyoroti peningkatan peredaran rokok ilegal yang berdampak pada penerimaan negara. Pada 2023, jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak mencapai 253,7 juta batang, sementara pada 2024 angkanya melonjak menjadi 710 juta batang.

Ia menilai bahwa kebijakan penyeragaman kemasan rokok justru berisiko memperparah peredaran rokok ilegal.

"Peningkatan rokok ilegal ini tentu berpotensi menggerus penerimaan negara dari CHT," tegasnya.

Lebih lanjut, sektor industri tembakau diketahui menyerap sekitar 5,9 juta tenaga kerja. Puteri menekankan bahwa kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dapat berdampak terhadap keberlangsungan industri rokok, terutama bagi pekerja di pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT), di mana mayoritas tenaga kerjanya adalah perempuan.

Berdasarkan kajian dari INDEF, sekitar 2,3 juta pekerja di sektor ini berisiko terdampak oleh kebijakan tersebut.

Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan aspek ekonomi dan ketenagakerjaan sebelum menerapkan kebijakan yang dapat memengaruhi industri tembakau. Oleh karena itu, ia meminta agar rencana penyeragaman kemasan rokok dikaji lebih lanjut dengan mempertimbangkan potensi dampak negatifnya.

Puteri juga mengimbau agar kementerian dan lembaga terkait berkoordinasi dalam merumuskan kebijakan ini, serta melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, pekerja, petani, dan pelaku industri.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, menilai bahwa rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek tidak memiliki alasan yang jelas. Salah satu dasar kebijakan yang diajukan Kementerian Kesehatan adalah untuk menekan angka perokok aktif, namun Agus menilai bahwa alasan tersebut kurang relevan.

"Saya masih tidak mengerti hubungan antara plain packaging (penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek) dengan orang tidak merokok, tidak ada hubungannya. Kan mengeluarkan kebijakan harus selalu ada alasan yang kuat,"ujarnya.

Menurut Agus, kebijakan ini justru berpotensi membawa dampak negatif bagi negara, terutama dalam aspek ekonomi. Ia menilai bahwa penghapusan identitas merek pada kemasan rokok dapat mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal.

"Industri ini telah menjadi sumber pendapatan negara. Kalau merek (brand) mau dihilangkan, mana ada yang mau bikin produk (rokok) legal lagi? Ada merek saja bisa dipalsukan, apalagi nggak ada," imbuhnya.

Lebih lanjut, Agus memprediksi bahwa rencana kebijakan ini akan mendapat penolakan dari banyak pihak. Ia menyebut bahwa Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Ketenagakerjaan telah menyampaikan kekhawatiran mereka terkait potensi kerugian besar yang bisa ditimbulkan akibat kebijakan yang sedang digodok oleh Kementerian Kesehatan.

x|close