Ntvnews.id, Jakarta - Lembaga Survei KedaiKOPI mengungkapkan bahwa 62,3 persen responden dalam survei bertajuk "Pola Penggunaan Produk Investasi" percaya bahwa Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) mampu mengelola investasi pemerintah secara transparan.
Hasil survei ini menunjukkan adanya optimisme publik terhadap lembaga Sovereign Wealth Fund (SWF) tersebut.
Baca Juga: Pemerintah Fokus pada Proyek Migas untuk Gelombang Pertama Danantara
Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI, Ibnu Dwi Cahyo, menyatakan bahwa kepercayaan terhadap transparansi Danantara didorong oleh beberapa faktor utama, yakni optimisme terhadap kinerja pemerintah (27,2 persen), pengawasan yang lebih baik (19,4 persen), dan profesionalisme pengelola (10 persen).
Kepala Badan Pelaksana (CEO) BPI Danantara Rosan Perkasa Roeslani saat memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan. (Antara)
Namun, masih ada 37,7 persen responden yang meragukan kinerja Danantara. Alasan utama mereka adalah kekhawatiran akan potensi korupsi (35,5 persen) serta kurangnya sosialisasi mengenai regulasi investasi yang diterapkan (13,6 persen).
“Investasi terbanyak saat ini adalah emas perhiasan sebanyak 49,9 persen, diikuti saham 38,4 persen, reksa dana 36,6 persen, dan emas batangan 35,6 persen. Cryptocurrency dipilih 22,1 persen responden, sementara properti 28,9 persen,” ujarnya dilansir Antara.
Adapun cryptocurrency mulai mendapat perhatian dengan 22,1 persen responden memilikinya, sementara properti dimiliki oleh 28,9 persen responden.
Dari sisi efisiensi, emas batangan dianggap sebagai instrumen investasi paling menguntungkan (28,7 persen), diikuti oleh emas perhiasan (20,1 persen), properti (12,2 persen), dan saham (10,4 persen).
Preferensi masyarakat terhadap instrumen investasi tertentu menunjukkan peluang bagi Danantara untuk mengoptimalkan sektor-sektor yang sudah dipercaya publik, seperti emas dan saham.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu akibat gejolak geopolitik dan perang dagang global, mayoritas masyarakat mulai mengutamakan investasi. Sebanyak 60 persen responden mengaku lebih memprioritaskan menabung dan berinvestasi, dengan 47,1 persen dari mereka percaya bahwa langkah ini akan meningkatkan penghasilan di masa depan.
Selain itu, 85,7 persen responden menyatakan bahwa investasi diperlukan untuk rencana jangka panjang, dengan 75,6 persen di antaranya berinvestasi demi memiliki dana di masa tua. Meski demikian, masih ada 26,8 persen responden yang belum mulai berinvestasi, dengan alasan utama kurangnya dana (62,2 persen) dan minimnya pengetahuan mengenai investasi (22,6 persen).
Menanggapi masih adanya sebagian masyarakat yang belum berinvestasi, Ibnu menekankan pentingnya edukasi mengenai investasi. Ia menyoroti bahwa dari 73,2 persen responden yang sudah berinvestasi, mayoritas memilih instrumen berisiko rendah seperti emas dan reksa dana, sementara hanya 17 persen yang berani mengambil risiko tinggi.
Survei "Pola Penggunaan Produk Investasi" ini dilakukan pada 20-27 Februari dengan melibatkan 900 responden melalui metode online Computer Assisted Self-Interviewing (CASI). Hasilnya menjadi gambaran penting bagi pemerintah dan lembaga terkait dalam mengelola investasi serta meningkatkan literasi keuangan masyarakat.