Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali menjadi pusat perhatian. Setelah sebelumnya disorot terkait rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), kini Kemenkes dikabarkan tengah menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang lebih rinci terkait larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes RI, Benget Saragih, mengungkapkan bahwa selain Rancangan Permenkes, pihaknya juga sedang menyiapkan Rancangan Perpres yang akan mengatur lebih lanjut peran Kementerian Perdagangan dalam mengawasi larangan penjualan rokok dalam radius tersebut.
“Untuk itu kita membutuhkan aturan turunan. Kemenkes sedang menyiapkan Perpres yang diharmonisasi dengan K/L. Jadi nanti Kementerian Perdagangan mengatur tentang penjualan 200 meter, artinya harus ada mekanismenya," ujar Benget beberapa waktu lalu.
Rancangan Perpres ini diperkirakan menjadi aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang telah menetapkan zonasi penjualan dan iklan produk tembakau. Namun, kebijakan baru ini justru memicu kekhawatiran di sektor ritel, terutama karena mereka telah terdampak aturan zonasi dan wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa merek.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Anang Zunaedi, menyatakan bahwa kebijakan ini dapat menjadi beban bagi para pelaku usaha.
“Banyak toko yang sudah berdiri sebelum adanya fasilitas pendidikan atau tempat bermain. Kalau dipaksakan, ini akan sangat memberatkan,” ungkap Anang dalam keterangannya, Senin, 24 Maret 2025.
Anang juga menyoroti potensi dampak ekonomi yang lebih luas, mengingat penjualan rokok menyumbang sekitar 40 persen omzet pelaku UMKM. Jika aturan ini diberlakukan, menurutnya, usaha kecil bisa mengalami penurunan pendapatan drastis. Ia menilai kebijakan ini kurang adil dan sulit diterapkan secara efektif.
Sementara itu, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, mengaku belum mendengar informasi mengenai Rancangan Perpres tersebut. Namun, ia menilai bahwa kebijakan ini tidak perlu diterapkan.
PP 28/2024 saja sudah kontroversial dan banyak ditentang. Apalagi jika ada Perpres baru, ini pasti akan menimbulkan polemik lebih besar,” ujarnya.
Ali berpendapat bahwa seharusnya Kemenkes lebih fokus pada edukasi masyarakat ketimbang menerapkan regulasi yang membebani rakyat. Ia juga mengkritisi bahwa PP 28/2024 dan peraturan turunannya tidak memiliki dasar riset ilmiah yang kuat. Menurutnya, alasan penerapan zonasi 200 meter untuk mengurangi akses anak terhadap rokok terlalu dipaksakan.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti minimnya sosialisasi kebijakan ini kepada masyarakat.
“Ini seperti kebijakan yang hanya meniru negara lain tanpa mempertimbangkan kondisi di Indonesia,” tambahnya.
Dengan adanya Rancangan Perpres ini, polemik pengendalian tembakau diprediksi semakin memanas. Para pelaku usaha dan pedagang pasar pun bersiap untuk menentang aturan ini jika dinilai merugikan mereka.
“Kami akan kirim surat ke Istana. Jika tidak direspons, kami siap turun ke jalan,” tegas Ali.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman, juga menyatakan belum mengetahui secara detail mengenai Rancangan Perpres ini. Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak dilibatkan dalam pembahasan kebijakan tersebut. Ia menolak peraturan yang dapat memperberat kondisi para pedagang.
“Aturan zonasi dan penyeragaman kemasan rokok sudah memberatkan. Jika ditambah Perpres, dampaknya akan semakin buruk bagi pedagang,” ujarnya dengan tegas.
Mujiburrohman juga menyampaikan bahwa APPSI tetap mendukung upaya pemerintah dalam melindungi anak-anak dari bahaya rokok. Namun, ia menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih mengutamakan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
“Larangan jualan rokok dekat sekolah mungkin bisa mengurangi akses, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah. Edukasi ke masyarakat jauh lebih penting,” pungkasnya.