Ntvnews.id, Jakarta - Mahalnya harga tiket pesawat domestik membuat resah masyarakat. Namun, mahalnya harga tiket pesawat bukan disebabkan oleh harga tiket itu sendiri melainkan banyaknya biaya-biaya yang dibebankan ke dalam harga tiket yang dibayar penumpang.
Hal itu diungkapkan Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia Irfan Setiaputra saat tampil sebagai bintang tamu dalam program DonCast di Nusantara TV yang dipandu jurnalis senior Don Bosco Selamun dan Donny de Keizer, Kamis, 1 Agustus 2024.
"Memang ada masa di mana industri ini sebenarnya yang menurut saya melakukan sebuah kesalahan fatal yaitu mulai mengkomoditisasi produknya. Jadi zaman dulu waktu mahal (tiket), enggak ada yang ribut mahal. Kalau Anda enggak mampu, ya jalan darat, atau tidak pergi. Jadi kalau ada diskusi sekarang tiket mahal, saya selalu bertanya terhadap apa?" ujar Irfan.
"Ada yang mengatakan, kok lebih mahal ke Makassar atau ke Raja Ampat daripada ke Malaysia atau ke Hong Kong? Ya, saya tanya, Anda ini sebenarnya mau ke Makassar atau mau ke Malaysia? Enggak bisa juga kita mengatakan steak itu lebih mahal daripada gado-gado. Anda mau makan daging atau mau gado-gado? Anda mau makan di hotel atau di pinggir jalan. Jadi mahal atau enggak mahal relatif. Tapi ketika ada nuansa menurunkan harga tiket kita gembira sekali," tambah Irfan.
Di sisi lain, pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) penurunan harga tiket pesawat. Satgas tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), dan kementerian/lembaga (K/L) terkait lainnya.
"Kami menyambut dengan sangat gembira. Dan saya hormatlah sama Pak Luhut (Binsar Pandjaitan). Hanya saja saya mengingatkan kepada semua pihak, ketika Anda bicara harga, sebelum menurunkan, mari kita bicara struktur biaya. Ini yang menarik," cetus Irfan.
Dia mengungkapkan harga tiket yang dikenakan ke calon penumpang merupakan gabungan dari harga tiket, pajak bandara dan biaya lainnya.
Baca Juga: Irfan Setiaputra Bongkar Rahasia Mengatasi Krisis Keuangan Garuda Indonesia
"Di dalam harga tiket yang Bapak-Ibu sekalian beli itu ada banyak komponen. Ada tarif batas atas (TBA) yang ditetapkan kementerian (Perhubungan). Maskapai enggak boleh jual lebih dari itu. Nah, itu hitungannya asumsi harga avtur, exchange rate (kurs), asumsi panjangnya perjalanan istilah kita block hour atau jarak dan keuntungan dengan keterisian pesawat. Misalnya 65 persen itu disebut tarif batas," imbuh Irfan.
"Di atas itu ada banyak komponen seperti pajak, PJP2U (Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara) yang zaman dulu kita sebut Airport Tax, Jasa Raharja, dan segala macam," tambahnya.
Irfan mencontohkan, jika penumpang melakukan perjalan ke Yogyakarta dengan harga tiket sekitar Rp1,2 juta, maka yang diterima maskapai itu hanya Rp900 ribuan.
"Kayak contohnya PJP2U, dulu kita beli tiket datang check-in langsung bayar di situ. Sekarang dimasukin ke harga tiket, dua tahun lalu mereka naikkan, enggak bilang-bilang, yang dimarain saya. Kemudian persoalan ke luar negeri, harga avtur beli di Jakarta. Kalau avtur tersebut dipakai buat perjalanan dalam negeri dikenakan pajak, ke luar negeri tidak dikenakan pajak. Harga tiket di dalam negeri dikenakan pajak. Anda mau ke Jogja dikenakan pajak tiketnya, ke Hong Kong enggak dikenakan pajak, jadi pajak salah satunya. Tapi kita ini kan maskapai nasional, kita enggak boleh mempertanyakan pajak, dan tentu saja kita ingin berkontribusi," ungkap Irfan.
Irfan mengaku telah membeberkan struktur harga tiket pesawat kepada satgas penurunan harga tiket pesawat. "Makannya saya mengajak satgas, saya pernah dipanggil sekali, saya bilang ini loh strukturnya (harga tiket pesawat). Apakah struktur ini semuanya pantas kita bebankan ke penumpang?" tukas Irfan.