Ntvnews.id, Jakarta - Setelah diterbitkan dan diberlakukan Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2021, maka LMKN diberikan tugas dan wewenang menghimpun royalti atas penggunaan lagu dan/atau musik kadya cipta baik anggota maupun bukan anggota LMK.
Karena itulah, tanpa terkecuali termasuk Youtube berkewaiiban mendistribusikan royalti digital pencipta lagu melalui LMKN kepada Pencipta bukan anggota yang sebelumnya telah disimpan sebagai cadangan (dana unclaim) selama 2 (dua) tahun. Sesuai ketentuan maka pendistribusian dana unclaim tersebut sudah harus dilakukan sejak tahun 2023.
Besarnya dana cadangan tersebut sehingga dapat dipergunakan untuk kemanfaatan pengembangan tata kelola royalti. Karena itulah LMKN bermaksud mempertanyakannya kepada Youtube.
Hal ini disampaikan langsung oleh moderator Johnny Maukar kepada Dirjen Kekayaan Intelektual Ir Razilu MSi dalam Rakernas dan Rakor dengan berbagai stakeholder LMKN.
“Atas masalah ini, Dirjen menyatakan dukungan DJKI umtuk dapat membahas masalah ini secara langsung dengan pihak Youtube," kata Johnny Maukar di hotel Westin Jakarta, Kamis (16/1/2025).
Dalam waktu dekat akan diupayakan pertemuan dengan manajemen Youtube. Pihak LMKN dan DJKI berharap setelah adanya pertemuan tersebut akan diperoleh kejelasan dan transparansi terkait dana unclaim yang teekumpul di Youtube.
Sekedar informasi, Regulasi terkait dengan Royalti atas penggunaan lagu dan/atau musik di Indonesia sudah sangat lengkap (full complience) Dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP Nomor 56 Tahun 2021”) sampai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“Permenkumham No 9 Tahun 2022”).
Jadi mengapa harus bayar royalti? Berapa harus dibayar dan kepada siapa dibayar? Apa sanksi jika tidak membayar. Semuanya sangat jelas. Tetapi mengapa kepatuhan bayar royalti di Indonesia sangat rendah sedangkan peraturannya sudah sangat komplit. Ternyata faktor utama adalah dikarena penerapan sanksi membutuhkan biaya besar dan waktu sangat lama . Hal ini terjadi karena penyelesaian pelanggaran royalti mengikuti hukum acara biasa yang melewati proses dari tingkatan pertama sampai kasasi bahkan Peninjauan Kembali (PK), tentunya akan sulit bagi LMKN melaksanakan proses ini memgingat keterbatasan dana.
Sebagai alternatif maka LMKN mengusulkan peradilan sederhana. Hal ini sebenarnya sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman: peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana mengandung arti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat, asas yang bersifat universal, berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas cepat ini terkenal dengan adagium justice delayed justice denied.