Ntvnews.id, Tokyo - Praktik prostitusi yang menargetkan wisatawan asing di Jepang semakin marak, dipicu oleh konten viral di media sosial dan tekanan ekonomi.
Dilansir dari AFP, Minggu, 27 April 2025, lonjakan ini terjadi seiring dengan anjloknya nilai tukar yen dan beban ekonomi yang meningkat pasca-pandemi. Kini, sejumlah perempuan Jepang secara terbuka menawarkan jasa seksual di area wisata, salah satunya di Taman Okubo, kawasan Shinjuku, Tokyo.
Para pekerja seks tersebut lebih memilih melayani turis asing ketimbang pria lokal karena dianggap lebih menguntungkan. Turis dinilai jarang menawar harga dan memiliki risiko lebih kecil menjadi polisi yang menyamar.
"Saya lebih memilih klien asing karena mereka biasanya tidak menawar dan kecil kemungkinannya polisi," ungkap Ria (nama samaran), seorang pekerja seks independen di sekitar Taman Okubo.
Baca Juga: China dan Korea Selatan Kecam PM Jepang
Menurut Ria, tarif yang dipatok berkisar antara 15.000 hingga 30.000 yen (sekitar Rp1,7 juta hingga Rp3,5 juta), dengan kemungkinan harga lebih rendah tergantung kondisi. Untuk berkomunikasi, Ria mengandalkan aplikasi penerjemah saat berinteraksi dengan turis dari Korea Selatan, China, Amerika Serikat, dan Eropa.
Azu, pekerja seks lain berusia 19 tahun, mengaku mampu memperoleh hingga 20.000 yen (sekitar Rp2,4 juta) per jam untuk layanan yang menggunakan kondom. Ia mengatakan klien lokal cenderung lebih banyak menawar, seiring melemahnya daya beli masyarakat Jepang.
Sementara itu, investigasi Japan Today mengungkap adanya keterlibatan calo dan germo dalam menjajakan layanan seksual kepada turis asing. Seorang jurnalis Shukan Post melaporkan praktik ini berlangsung di kawasan hiburan malam Kabukicho, Shinjuku. Dalam salah satu kasus, seorang wisatawan dibawa ke lantai enam sebuah gedung untuk mendapatkan layanan seksual bertema Jepang.
Polisi Tokyo baru-baru ini menangkap Kazuki Sudo (54), pemilik toko seks Sparaku, yang diketahui secara terbuka melayani turis asing. Sudo mengaku bahwa sekitar 60 hingga 70 persen dari omzet perusahaan yang mencapai 1,1 miliar yen berasal dari wisatawan.
Dalam penggerebekan, ditemukan mata uang dari 16 negara berbeda, termasuk dolar AS, yuan, dan peso.
Baca Juga: Ricky Siahaan, Gitaris Seringai Meninggal Dunia Usai Manggung di Jepang
Sparaku disebut merekrut pekerja dari kalangan pelacur jalanan di Taman Okubo. Namun, dengan meningkatnya patroli polisi sejak Oktober lalu, banyak dari mereka kini beroperasi di lokasi tersembunyi untuk menghindari razia.
Anjloknya nilai yen membuat tarif layanan seksual di Jepang terasa lebih murah bagi turis asing. Operator jasa kerap mematok harga lebih tinggi untuk wisatawan, bahkan dalam beberapa kasus klien asing dibujuk untuk membayar hingga 100.000 yen untuk satu jam layanan.
Arata Sakamoto, kepala organisasi nirlaba Rescue Hub, menyebut bahwa tekanan ekonomi pasca-pandemi mendorong banyak perempuan muda masuk ke industri seks. Banyak dari mereka menjadi korban kekerasan, pelecehan digital, direkam tanpa izin, hingga tidak menerima bayaran, yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka.
Fenomena ini juga diperparah oleh konten viral di media sosial seperti TikTok dan Bilibili, yang mendorong wisatawan datang ke Jepang dengan informasi tentang layanan dewasa dan bersedia membayar lebih untuk pengalaman spesial.
Walaupun prostitusi secara hukum dilarang di Jepang, berbagai celah legalitas masih memungkinkan praktik ini berlangsung, seperti melalui layanan panggilan dan toko hiburan dewasa yang menggunakan istilah samar.