Ntvnews.id, London - Perdana Menteri Inggris Keir Starmer berkomitmen untuk menanggapi hasutan daring dengan penerapan hukum yang ketat sebagai respons terhadap kerusuhan terbaru di Inggris.
Komitmen ini muncul setelah Elon Musk, miliarder pemilik platform media sosial X, mengungkapkan bahwa "perang saudara tidak dapat dihindari" dalam sebuah unggahan yang menampilkan video perusuh bentrok dengan polisi.
Dilansir dari Starmer, Rabu, 7 Agusttus 2024, pemimpin Partai Buruh tersebut menegaskan kembali komitmennya dalam pertemuan darurat Ruang Rapat Kantor Kabinet (COBRA) pada hari Senin.
Starmer mengkritik komentar Musk, menyatakan bahwa komentar tersebut "tidak memiliki pembenaran."
Baca Juga: Imbauan Bagi WNI di Inggris Menyusul Terjadinya Kerusuhan Anti-Muslim
"Siapa pun yang mengobarkan kekerasan daring akan menghadapi penegakan hukum yang penuh. Platform daring memiliki tanggung jawab," kata Starmer, sebagaimana dilaporkan oleh Anadolu pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Dia menekankan bahwa "hukum berlaku daring" dan menegaskan bahwa hasutan untuk kekerasan akan diperlakukan dengan tingkat keparahan yang sama seperti partisipasi langsung dalam kekerasan.
"Demikian juga, siapa pun yang terbukti terlibat dalam tindak pidana daring akan menghadapi konsekuensi yang setara," tambahnya.
Starmer juga mengumumkan beberapa langkah penting yang telah disetujui, termasuk pembentukan "pasukan tetap" yang terdiri dari perwira spesialis untuk menangani insiden yang muncul.
Baca Juga: Ini Kronologi Kerusuhan Anti-Muslim di Inggris
Kerusuhan ini dimulai pada hari Selasa lalu setelah penangkapan Axel Rudakubana, 17 tahun, yang didakwa dengan pembunuhan tiga gadis muda dan percobaan pembunuhan terhadap sepuluh orang lainnya.
Para korban—Elsie Dot Stancombe (7), Alice Dasilva Aguiar (9), dan Bebe King (6)—tewas dalam serangan pisau di Southport, utara Liverpool.
Klaim daring yang tidak akurat menyebut Rudakubana sebagai pengungsi Muslim baru tiba di Inggris, memicu ketegangan lebih lanjut.
Padahal, Rudakubana adalah individu kelahiran Cardiff dengan latar belakang Rwanda, dan narasi palsu ini telah memperburuk situasi.