Ntvnews.id, Jakarta - Airlangga Hartarto telah mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, dengan pengunduran dirinya efektif sejak Sabtu, 10 Agustus 2024.
Untuk menentukan pengganti sementara (Plt Ketum), Partai Golkar akan menggelar rapat pleno pada Selasa, 13 Agustus 2024. Ada 12 Wakil Ketua Umum Partai Golkar yang berpotensi diangkat sebagai Plt Ketum Golkar.
Golkar sendiri lahir dari kolaborasi ide antara tiga tokoh, yaitu Sukarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara, yang mengajukan konsep integralistik-kolektivistik sejak tahun 1940.
Baca Juga: Ketua DPP: Rapat Pleno Plt. Ketum Golkar Tidak Perlu Voting
Pada masa itu, gagasan ini diwujudkan melalui Golongan Fungsional, yang kemudian pada tahun 1959 namanya diubah menjadi Golongan Karya, yang dikenal sebagai Golkar hingga saat ini.
Sejarah Partai Golkar Periode Awal
Pada tahun 1950-an, Golkar awalnya dibentuk sebagai representasi berbagai golongan dalam masyarakat. Menurut situs resmi partai, Golkar dimaksudkan untuk mencerminkan keterwakilan kolektif sebagai bentuk demokrasi yang khas Indonesia, yang sering disuarakan oleh Sukarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara.
Pada awalnya, Golkar bukanlah sebuah partai politik, melainkan sebuah perwakilan golongan melalui Golongan Karya. Golkar didirikan sebagai sistem perwakilan lembaga-lembaga representatif di Indonesia.
Baca Juga: Airlangga Mudur dari Ketum Golkar, Bagaimana Rekomendasi Kepala Daerah?
Organisasi Golkar berdiri pada tahun 1957, saat sistem multipartai mulai berkembang di Indonesia. Golkar sebagai alternatif waktu itu terdiri dari golongan-golongan fungsional.
Beralih Menjadi Partai
Golkar kemudian berubah menjadi partai politik ketika Sukarno, Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution, dan angkatan darat mengubah Golkar untuk melawan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebelumnya, Golkar dikenal sebagai Golongan Karya dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber Golkar, yang didirikan pada 20 Oktober 1964 oleh Soeharto dan Suhardiman, awalnya digunakan oleh angkatan darat untuk menandingi pengaruh PKI dalam politik pada masa akhir pemerintahan Sukarno.
Pada pemilu 3 Juli 1971, Sekber Golkar memperoleh 62,8% suara, sehingga mendapatkan 236 dari 360 kursi di DPR. Jumlah ini masih ditambah dengan 100 kursi yang diisi oleh anggota yang diangkat pemerintah.
Sementara itu, partai lain yang memperoleh suara signifikan adalah Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,7%, Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 6,9%, dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) penerus Masyumi dengan 5,4%.
Ketua Partai Golkar dari Masa ke Masa