Ntvnews.id, Jakarta - Terdakwa Harvey Moeis, yang berperan sebagai perwakilan dari PT Refined Bangka Tin, didakwa atas kerugian keuangan negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus korupsi terkait pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. untuk periode 2015–2022.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi mengungkapkan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta bahwa Harvey Moeis diduga terlibat dalam tindakan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
Baca Juga:
Momen Kocak Tersangka KDRT Suami Cut Intan Nabila, Armor Toreador, Dijitak Kepalanya
Suzuki Indonesia Recall 108 Unit Avenis 125, Ada Masalah di Komponen Ini
"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum yang merugikan keuangan negara," kata jaksa penuntut umum (JPU) Ardito Muwardi, dikutip dari Antara.
Sidang kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis.
JPU menuduh Harvey melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi tertentu serta menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan pribadi atau korporasi, termasuk tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk menyembunyikan sumber kekayaan.
Harvey menghadapi ancaman pidana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Dalam sidang, JPU menjelaskan bahwa Harvey awalnya mengadakan pertemuan dengan Direktur Utama PT Timah Tbk., Mochtar Riza Pahlevi, dan Direktur Operasi PT Timah, Alwin Albar, bersama 27 pemilik smelter swasta. Pertemuan ini membahas permintaan Mochtar dan Alwin mengenai pengalihan 5 persen dari kuota ekspor bijih timah para smelter swasta. Permintaan ini dikarenakan bijih timah yang diekspor oleh smelter swasta tersebut berasal dari penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.
Pertemuan ini diketahui oleh Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta, dan Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin, Reza Andriansyah. Harvey kemudian meminta empat smelter swasta—CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa—untuk membayar biaya pengamanan sebesar 500 hingga 750 dolar Amerika Serikat (AS) per ton. Biaya ini dicatat seolah-olah sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) oleh Harvey atas nama PT Refined Bangka Tin.
Harvey juga didakwa memprakarsai kerja sama sewa peralatan processing untuk pengolahan timah smelter swasta yang tidak memiliki kompeten person (CP), termasuk empat smelter swasta, dengan PT Timah. Proses ini mencakup negosiasi harga sewa peralatan tanpa didahului studi kelayakan yang memadai.
Selain itu, Harvey bersama keempat smelter swasta menyepakati penerbitan surat perintah kerja (SPK) di wilayah IUP PT Timah untuk melegalkan pembelian bijih timah yang berasal dari penambangan ilegal. Kerja sama ini menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk kerugian ekologi dan ekonomi, serta mempengaruhi keuangan negara.
Harga sewa peralatan processing timah yang disepakati adalah 4.000 dolar AS per ton untuk PT Refined Bangka Tin dan 3.700 dolar AS per ton untuk empat smelter lainnya tanpa kajian yang tepat, dengan kajian dibuat kemudian secara retroaktif. Harvey juga didakwa menerima biaya pengamanan dari empat perusahaan smelter melalui Helena Lim, pemilik PT Quantum Skyline Exchange.