Ntvnews.id, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung si tukang kayu, atau julukan yang disematkan untuknya oleh pihak-pihak yang tak sejalan dengannya. Hal itu ia sampaikan saat berpidato pada penutupan Munas Golkar di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (22/8/2024).
Menurut Jokowi, si tukang kayu atau dirinya, selalu disalahkan atas berbagai hal termasuk dinamika politik yang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Jokowi di Penutupan Munas Golkar: Nyaman di Bawah Pohon Beringin
Mulanya, Jokowi mengulas soal pro dan kontra terkait aturan dalam penyelenggara pilkada. Hal itu, kata dia dimulai oleh putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sehari ini, dua hari ini kalau kita lihat media sosial, media massa sedang riuh, sedang ramai setelah putusan yang terkait dengan pilkada," ujar Jokowi dalam pidatonya.
Ujung dari keriuhan itu, kata Jokowi, lagi-lagi dirinya lah pihak yang disalahkan. "Setelah saya lihat di media sosial ini salah satu yang ramai, tetap soal si tukang kayu," ucap Jokowi yang disambut tawa hadirin.
Presiden Jokowi saat berpidato di penutupan Munas Golkar. (YouTube)
"Kalau sering buka di media sosial pasti tahu, tukang kayu ini siapa," imbuh Jokowi yang kembali direspons tawa hadirin.
Jokowi menjelaskan, bahwa yang membuat keputusan itu adalah MK, dan lembaga itu memang memiliki kewenangan tersebut, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Termasuk keputusan yang dibuat DPR RI, juga merupakan kewenangan lembaga legislatif, yang juga diatur UUD 1945.
Walau demikian, kata Jokowi, tetap dirinya yang disalahkan atas semua kegaduhan ini.
"Padahal kita tahu semuanya, yang membuat keputusan itu adalah MK. Itu adalah wilayah yudikatif. Dan saat ini yang sedang dirapatkan di DPR itu adalah wilayah legislatif. Tapi tetap yang dibicarakan adalah si tukang kayu," papar Jokowi disambut tawa hadirin, yang kemudian direspons senyum Jokowi.
Jokowi mengaku tak masalah dianggap sebagai pihak yang salah dalam hal apa pun di negeri ini. Sebab itu merupakan hal yang wajar terjadi di negara demokrasi, yang mengusung kebebasan berpendapat.
Walau demikian, Jokowi menegaskan dirinya sangat menghormati keputusan baik itu yang dibuat MK, maupun DPR. Jokowi pun mengajak seluruh pihak, termasuk masyarakat untuk menghormati kewenangan dan keputusan yang dibuat kedua lembaga.
"Ya tidak apa-apa, itu warna-warni sebuah demokrasi. Tapi yang saya ingin sampaikan sebagai lembaga eksekutif, saya ini berada di lembaga eksekutif. Sebagai presiden, saya sangat menghormati yang namanya lembaga yudikatif, yang namanya lembaga legislatif," tutur Jokowi.
"Jadi saya, kami sangat menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara yang kita miliki itu. Mari kita menghormati keputusan, beri kepercayaan pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan proses secara konstitusional," sambungnya.
Diketahui, MK membuat dua putusan yang memicu polemik terkait regulasi penyelenggara pilkada. Pertama, MK membuat putusan yang memungkinkan partai non-DPRD untuk mengusung calonnya sendiri di pilkada dan menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah bagi partai yang memiliki kursi DPRD. Putusan ini dianggap menguntungkan Anies Baswedan maupun PDIP, yang saat itu tak bisa maju di Pilgub Jakarta 2024, karena terhambat aturan sebelumnya.
Kedua, MK memutuskan bahwa syarat usai calon kepala daerah minimal 30 tahun dan itu berlaku saat penetapan calon. Ketentuan tersebut dianggap merugikan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang saat ini masih berusia 29 tahun dan telah mendapatkan dukungan sejumlah partai politik untuk mendampingi Komjen Ahmad Luthfi maju di Pilgub Jateng 2024.
Usai putusan itu, DPR lantas menggelar rapat pembahasan untuk merevisi UU Pilkada. Hasilnya, DPR setuju dengan putusan MK soal partai non-DPRD dapat mengusung calon kepala daerah, namun ambang batas pencalonan kepala daerah tetap dikembalikan seperti sebelumnya yakni 20 persen kursi partai politik di DPRD dan atau 25 persen suara pemilu sebelumnya. Sementara terkait usia calon kepala daerah, DPR tak setuju dan mengembalikan ketentuan itu sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA), yakni syarat usia 30 tahun berlaku saat kepala daerah dilantik.