Fenomena Kotak Kosong, Bukti Demokrasi Bermasalah

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 4 Sep 2024, 09:42
Adiantoro
Penulis & Editor
Bagikan
Pakar Hukum Tat Negara, Feri Amsari saat menjadi narasumber dalam program Dialog NTV Election di Nusantara TV, Selasa (3/9/2024). Pakar Hukum Tat Negara, Feri Amsari saat menjadi narasumber dalam program Dialog NTV Election di Nusantara TV, Selasa (3/9/2024).

Ntvnews.id, Jakarta - Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong muncul di sejumlah daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. 

Pakar Hukum Tat Negara, Feri Amsari menyebut, fenomena itu terjadi agar partai-partai dan para calon ingin menang dengan mudah. 

"Mereka ingin menyederhanakan berbagai persoalan demokrasi konstitusional kita. Padahal syarat melaksanakan Pemilu, Pilkada adalah kompetisi yang sehat," ujar Feri saat menjadi narasumber dalam program Dialog NTV Election di Nusantara TV, Selasa (3/9/2024).

Menurutnya, harus ada calon pasangan lain yang memiliki cara pandang visi misi yang berbeda, sehingga publik pemilih punya alternatif. "Jadi karena nafsu berkuasa, ingin memudahkan pertarungan, dan memang partai kita tidak sehat," sambungnya.

Dia menilai, partai-partai seolah-olah mengincar kemenangan, tapi tidak memperjuangkan ideologi. "Berbeda ideologinya, kelihatan begitu mudah bergabung seolah-olah tidak memperjuangkan perbedaan cara pandang ideologi yang diperjuangkan masing-masing partai. Ini menjadi penyakit yang terus berulang," tambah Feri.

Selain itu, penyelenggara dinilai tidak menjalani kehendak konstitusional dalam Pemilu dengan baik. "Misalnya dalam proses perpanjangan pendaftaran calon, KPU RI dan KPU daerah tidak membuka secara patut silon (sistem informasi pencalonan) untuk memudahkan partai-partai mengajukan calon baru," imbuhnya.

Baca Juga: Infografik: Calon Tunggal di Pilkada 2024

Padahal, kata dia, dengan di perpanjangnya masa pendaftaran calon maka partai diberikan kesempatan berpikir merdeka untuk memberikan tawaran calon yang berbeda secara alternatif. 

"Tapi dengan berbagai alasan, KPU membuat repot masalah. Misalnya dengan mengatakan boleh saja punya cara pandang berbeda dengan mengajukan calon berbeda asal disetujui oleh partai-partai sebelumnya. Ini kan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin akan ada koalisi besar, perahu tunggal, dan namanya orang mau bercerai, dan tidak menguntungkan partai koalisi besar tentu mereka akan menghalangi," terangnya. 

"Bukankah upaya perahu tunggal, calon tunggal itu adalah membeli seluruh perahu, kok tiba-tiba mereka rela. Jadi ini syarat tidak masuk akal, dan tidak ada juga dalam ketentuan dan di putusan Mahkamah Konstitusi," sebut Feri.

"Jadi mestinya namanya orang mau berpisah, dilakukan perpanjangan, ya dimudahkan partai lain untuk memisahkan diri agar kita menolong pemilih kita punya calon alternatif," tegasnya. 

Menurutnya, KPU tidak boleh melakukan kebijakan aneh-aneh hanya untuk kepentingan partai mayoritas bercalon tunggal. "Ini harus dibuka silonnya, dipastikan tidak ada syarat-syarat yang janggal, yang akan memperumit keadaan malah tidak demokratis. Ini terasa sekali di KPU RI, dan di KPU daerah yang menjalankan perintah dari KPU RI," tukas Feri.

x|close