Ntvnews.id, Beijing - Dalam agama, berlebihan dalam segala hal dianggap tidak baik. Begitu pula dalam pekerjaan, tubuh manusia tidak bisa terus menerus dipaksa untuk berproduksi tanpa henti. Budaya kerja yang ekstrem sering kali berakibat fatal.
Dilansir dari SCMP, Rabu, 11 September 2024, seorang pria berusia 30 tahun meninggal akibat gagal organ setelah bekerja tanpa henti selama 104 hari, hanya mendapatkan satu hari libur. Peristiwa tragis ini terjadi di Zhoushan, Tiongkok timur, pada Mei tahun lalu.
Pria tersebut, yang dikenal sebagai A'bao, bekerja sebagai pelukis di sebuah perusahaan dengan beban kerja yang sangat berat. Selama tiga bulan, ia hanya memperoleh satu hari cuti, yang tidak cukup untuk memulihkan kondisinya. Akibat tekanan kerja yang ekstrem, A'bao mengalami infeksi serius yang akhirnya mengakibatkan kematiannya.
Baca Juga: Pertolongan Efektif untuk Rekan Kerja yang Alami Stres
Keluarga A'bao menuntut perusahaan tempatnya bekerja. Pengadilan memutuskan bahwa perusahaan bertanggung jawab sebesar 20 persen atas kematiannya, karena dianggap gagal dalam mengatur beban kerja karyawan dengan bijak. Kasus ini memicu perdebatan nasional di China mengenai kerja berlebihan dan kebijakan cuti yang minim.
Setelah bekerja tanpa henti selama 104 hari, kesehatan A'bao menurun drastis. Ia hanya mendapatkan satu hari cuti pada 6 April, yang tidak memadai untuk memulihkan tubuhnya dari beban kerja yang berat. Pada 25 Mei, A'bao merasakan sakit dan mengambil cuti sakit untuk beristirahat di asramanya.
Kondisinya memburuk tiga hari kemudian, dan ia dilarikan ke rumah sakit oleh rekan kerjanya. A'bao didiagnosis mengalami infeksi paru-paru yang menyebabkan kegagalan organ dan akhirnya meninggal pada 1 Juni. Kejadian ini menjadi dasar bagi keluarganya untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan.
Menurut Guangzhou Daily, pengadilan menyimpulkan bahwa kematian A'bao disebabkan oleh kerja berlebihan dan kegagalan perusahaan dalam mengelola kesehatan pekerjanya. Kasus ini menggambarkan bagaimana tekanan pekerjaan dapat berdampak fatal.
Baca Juga: Seorang Wanita Nekat Curi Uang Milik Majikan, Padahal Kerja Belum Genap Sebulan
Perusahaan tempat A'bao bekerja dianggap melanggar peraturan ketenagakerjaan dengan memaksanya bekerja tanpa istirahat yang cukup. Pengadilan menemukan bahwa lingkungan kerja yang tidak sehat berkontribusi pada penurunan daya tahan tubuh A'bao, yang akhirnya mempercepat kematiannya.
Menurut keputusan pengadilan, perusahaan telah melanggar hukum ketenagakerjaan Tiongkok yang membatasi jam kerja maksimum per hari dan per minggu. Hukum ini bertujuan untuk melindungi pekerja dari beban kerja berlebihan.
Pengadilan memerintahkan perusahaan untuk membayar kompensasi sebesar 400.000 yuan atau setara dengan Rp 872 juta kepada keluarga korban, termasuk Rp 21 juta untuk tekanan emosional akibat kematian tersebut.
Kondisi kerja yang tidak mendukung kesehatan karyawan ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat Tiongkok. Banyak yang mengecam pelanggaran perusahaan sebagai contoh bagaimana kesejahteraan pekerja sering kali diabaikan demi produktivitas.