Ntvnews.id, Jakarta - Hari ini, Rabu (11/9/2024) sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) enam terpidana kasus Vina kembali digelar di Pengadilan Negeri Cirebon, Jawa Barat. Agenda sidang ketiga ini adalah mendengarkan keterangan saksi yang telah disiapkan oleh tim kuasa hukum enam terpidana.
Dalam sidang PK pada Senin (9/9/2024) kemarin Jaksa Penuntut Umum (JPU) membantah semua permohonan dalam memori PK yang dibacakan tim kuasa hukum. Menurut JPU yang disampaikan tim kuasa hukum bukanlah novum. JPU juga membantah adanya kekhilafan Hakim dalam memutus perkara ini pada tahun 2017. Putusan hakim yang telah inkrah menjadi pijakan kuat JPU bahwa kasus Vina dan Eky adalah kasus pembunuhan dan bukan kecelakaan lalu lintas.
Sidang kali ini turut dihadiri Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sejumlah aparat keamanan bersiaga mengawal agar sidang berjalan aman dan lancar.
Sedikitnya ada 49 saksi yang dihadirkan tim kuasa hukum dengan rincian 39 saksi fakta dan 10 saksi ahli.
Guna mengetahui lebih mendalam poin-poin yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum terhadap memori PK yang diajukan keenam terpidana, NusantaraTV menghadirkan Ahli Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar dalam dialog Breaking News.
Abdul Fickar menyampaikan dalam proses sidang di pengadilan pasti ada dua pihak yang berlawanan. Baik dalam perkara perdata, pidana atau perkara tata usaha negara.
"Dalam perkara pidana ada ketidakseimbangan dari dua pihak yang berperkara. Karena yang satunya negara lainnya warga negara. Warga negara yang melanggar hukum. Negara diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Jadi pola relasinya ata hubungannya pasti tidak seimbang. Karena negara menuntut warga negara," kata Abdul Fickar.
Seorang warga negara dibawa ke pengadilan, kata Fickar, dia mempunyai beberapa hak termasuk di di dalamnya adalah hak melakukan upaya hukum.
"Upaya hukum itu keberatan terhadap putusan. Umpamanya di tingkat Pengadilan Negeri ada banding. Di tingkat Pengadilan Tinggi ada kasasi. Kemudian sekalipun umpamanya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap masih ada upaya hukum namanya itu tadi peninjauan kembali," paparnya.
"Ketika para terpidana mengajukan peninjauan kembali sudah pasti dichallenge oleh jaksa penuntut umum. Dianggap tidak memenuhi syarat untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan kembali," imbuhnya.
Fickar mengatakan jika argumentasi yang disampaikan adalah kekhilafan hakim rasanya kurang realistis.
"Yang paling pas adalah novum. Keadaan baru atau orang sering menyebutnya bukti baru," kata Fickar.
Novum sendiri kata Fickar memiliki pengertian alat bukti atau keadaan yang pada waktu terdakwa di sidang di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Kasasi tidak muncul dan tidak dipertimbangkan.
"Artinya memang harus keadaan yang baru. Meskipun sudah lama tapi baru diketahui. Atau baru terjadi," ujarnya.
Fickar mencontohkan seperti kejadian pada kasus Sengkon dan Karta. Dimana akhirnya ada pelaku yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan yang sesungguhnya.
"Pengakuan itu kan baru. Sehingga bisa jadi alat bukti," terangnya.
Terkait adanya kekhilafan hakim dalam sidang kasus Vina pada 2016 silam yang kerap disampaikan kuasa hukum terpidana.
Novum
Yang dimaksud dengan kekhilafan hakim, kata Fickar, adalah kekeliruan hakim dalam menilai alat bukti.
"Alat bukti itu, keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat dan keterangan tersangka atau terdakwa sendiri. Kalau hakim keliru menafsirkan empat alat bukti. Maka itu bisa dikatakan keliru. Misalnya error in persona atau salah orang yang diajukan dalam sidang seperti Pegi Setiawan," jelasnya.
"Sehingga ketika membuat pertimbangan jadi keliru," tandasnya.
Apakah ada perbedaan pengajuan PK yang diajukan mantan terpidana Saka Tatal dan enam terpidana?
"Saya kira dasarnya sama. arena peristiwanya satu sebenarnya," kata Abdul Fickar.
Karena itu, Fickar menyarankan agar Majelis Hakim yang mengadili sidang PK ini satu. Jangan terpisah-pisah. Seharusnya Mahkamah Agung bijaksana menyatukan itu perkara semuanya. Supaya dinilai oleh satu majelis saja.
Karena putusan yang lebih dulu keluar dari PK Saka Tatal bisa saja mempengaruhi hakim yang memeriksa PK enam terpidana.
Lebih lanjut Abdul Fickar membahas soal saksi fakta dan saksi alibi yang diajukan oleh tim kuasa hukum enam terpidana.
"Saksi alibi itu sama dengan saksi fakta. Saksi fakta itu adalah yang melihat, mendengar bahkan ikut di dalam peristiwa itu. Artinya dia memang secara faktual mengetahui itu terjadinya tindak pidana. Nah saksi alibi juga sama. Sama dalam pengertian ketika peristiwa itu terjadi saksi ini menyaksikan terdakwa tidak pada tempat terjadinya tindak pidana," tuturnya.
Fickar berpandangan jika yang diajukan adalah saksi alibi dapat dipastikan dalam persidangan akan membantah semua yang disampaikan saksi fakta.
Menyinggung soal pernyataan para terpidana yang mengaku tidak didampingi kuasa hukum. Fickar menegaskan KUHAP atau hukum acara pidana mensyaratkan setiap terdakwa atau tersangka itu berhak didampingi oleh pengacara atau penasehat hukum. Sejak penyelidikan di kepolisian sampai persidangan di pengadilan.
"Kalau ancaman hukumannya 5 tahun ke atas. Tersangka wajib didampingi kuasa hukum. Itu syarat mutlak. Jika tidak didampingi pemeriksaannya menjadi tidak sah," beber Fickar.
Menanggapi klaim dari para terpidana bahwa mereka mengalami penyiksaan selama menjalani pemeriksaan. Fickar mengatakan kedudukan tersangka memang lemah. Mereka harus membuktikan pernyataannya soal adanya penyiksaan.
"Kadang-kadang hakim hanya terpaku pada bukti. Ada buktinya tidak? Jangan asal ngomong," ungkap Fickar.
Dalam hal ini kata Fickar kejelian pengacara tersangka sangat penting.
Ditanyakan apakah novum yang diajukan tim kuasa hukum akan berdampak pada diterima memori PK para terpidana?
Fickar mengatakan dapat dipastikan seluruh saksi yang diajukan oleh pemohon saksi ahli, alat bukti surat itu pasti mendukung argumen yang akan diajukan oleh terpidana yang mengajukan PK.
"Kalau tidak mendukung ya percuma. Buat apa diajukan. Itu pasti arahnya ke sana," ujarnya.
"Namun di sisi lain ada kontra dari Jaksa. Jaksa bertugas untuk menghukum orang yang bersalah. Sedangkan dari kuasa hukum ingin membuktikan bahwa para terpidana tidak bersalah. Karena itu seluruh alat bukti diarahkan bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana," tukasnya.
Sementara itu, kuasa hukum terpidana kasus Vina, Titin Prialianti berharap Iptu Rudiana ayah korban Eky yang disebut-sebut ikut menangani kasus ini dapat hadir sebagai saksi di sidang PK.
"Jika kepolisian ingin mengungkap kasus ini seterang-terangnya seharusnya Rudiana dan beberapa polisi yang melakukan pemeriksaan pada awal peristiwa di 2016 dapat dihadirkan di persidangan," kata Titin.
Titin menduga kepolisian menginginkan para pengacara dan masyarakat lah yang membuktikan kebenaran dari kasus kematian Vina dan Eky pada 2016 silam.