Kata Ilmuan soal Gurun Sahara Menghijau

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 17 Sep 2024, 08:00
Deddy Setiawan
Penulis
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Fenomena Gurun Sahara Menghijau Fenomena Gurun Sahara Menghijau (NASA)

Ntvnews.id, Sahara - Dikenal sebagai wilayah yang gersang, kawasan sahara jarang terlihat memiliki tanaman hijau atau pepohonan. Namun, baru-baru ini setelah hujan lebat yang jarang terjadi, warna hijau mulai muncul dan terlihat bahkan dari luar angkasa, memicu kekhawatiran di kalangan ilmuwan.

Satelit menangkap pertumbuhan tanaman yang tidak biasa di beberapa bagian selatan Sahara, wilayah yang umumnya kering. Ini terjadi setelah badai besar melanda daerah tersebut, yang juga menyebabkan banjir.

Dilansir dari CNN Internasional, Selasa, 17 September 2024, menurut para ilmuwan, fenomena ini kemungkinan besar terjadi akibat pemanasan global yang disebabkan oleh polusi.

Baca Juga: Luhut Pede Dampak Perubahan Iklim Bisa Teratasi

Hujan di wilayah utara khatulistiwa Afrika biasanya meningkat antara Juli hingga September selama Musim Monsun Afrika Barat. Namun, sejak pertengahan Juli, zona hujan ini telah bergeser lebih jauh dari posisi normalnya, membawa badai ke selatan Sahara. Akibatnya, wilayah Sahara ini menjadi dua hingga enam kali lebih basah dari biasanya.

Karsten Haustein, seorang peneliti iklim dari Universitas Leipzig, menyatakan bahwa ada dua kemungkinan penyebab perubahan ini. Pertama, transisi dari El Nino ke La Nina mempengaruhi pergeseran zona tersebut. Selain itu, pemanasan global juga memainkan peran penting dalam perubahan ini.

"Zona Konvergensi Intertropis, yang menyebabkan penghijauan di Afrika, bergerak lebih jauh ke utara seiring dengan peningkatan suhu dunia," jelas Haustein.

Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature pada bulan Juni menunjukkan bahwa pergeseran ini bisa terjadi lebih sering di masa mendatang akibat peningkatan kadar karbon dioksida dan pemanasan global.

Perubahan ini tidak hanya menyebabkan penghijauan di gurun, tetapi juga mengganggu musim badai Atlantik, memberikan dampak besar bagi beberapa negara di Afrika. Negara-negara yang biasanya menerima curah hujan tinggi justru mengalami penurunan curah hujan.

Baca Juga: Jokowi Tekankan Masalah Iklim Tidak Bisa Diselesaikan Dengan Pendekatan Ekonomi

Wilayah seperti Nigeria dan Kamerun, yang biasanya menerima 20 hingga 30 inci hujan antara Juli hingga September, hanya mendapatkan 50 hingga 80 persen dari curah hujan normal. Sebaliknya, daerah yang biasanya lebih kering seperti Niger, Chad, Sudan, Libya, dan Mesir bagian selatan mendapatkan lebih dari 400 persen curah hujan sejak pertengahan Juli.

Di bagian utara Chad, kawasan gurun yang biasanya hanya menerima curah hujan sekitar satu inci dari pertengahan Juli hingga awal September, tahun ini menerima antara 3 hingga 8 inci hujan. Curah hujan yang berlebihan ini menyebabkan banjir besar yang mempengaruhi hampir 1,5 juta orang dan menewaskan setidaknya 340 orang.

Banjir juga menewaskan lebih dari 220 orang dan membuat ratusan ribu orang mengungsi di Nigeria, terutama di wilayah utara yang biasanya lebih kering. Sudan juga mengalami banjir mematikan pada akhir Agustus, dengan lebih dari 132 korban jiwa dan 12.000 rumah hancur.

Menurut Haustein, kejadian banjir ini kemungkinan besar berkaitan dengan perubahan iklim. Saat Bumi memanas, kapasitas atmosfer untuk menampung uap air meningkat, yang dapat menyebabkan musim hujan yang lebih basah dan banjir yang lebih parah.

Halaman
x|close