Ntvnews.id, Jakarta - Terpidana kasus Vina, Sudirman memiliki kondisi yang berbeda jika dibandingkan dengan para terpidana lainnya. Sudirman disebut memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata bahkan disebut mengalami mental retardasi atau gangguan intelektual.
Dengan kondisi tersebut menurut ahli hukum pidana Profesor Mudzakir, Sudirman tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Bahkan sekalipun Sudirman terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai KUHP yang baru dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
Menurut Mudzakir perlu dilakukan pemeriksaan psikis dan fisik Sudirman oleh tim dokter untuk memastikan apakah dia dalam kondisi bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum atau tidak.
"Kondisi fisik seseorang sebut saja terpidana sekarang itu adalah pemohon PK itu akan diseleksi lebih dahulu. Dilihat dulu mana kira-kira yang variabel mana yang mempengaruhi proses hukum. Kalau ada tindakan kekerasan kepada dirinya itu nanti bisa dibuktikan saja oleh tim dokter," kata Prof Mudzakir dalam Dialog NTV Prime di NusantaraTV, Rabu (25/9/2024).
Selain fisik, kata Mudzakir, yang terutama penting untuk diperiksa adalah kondisi kejiwaan.
"Kalau tadi contoh yang saya kasuskan itu keterangan-keterangan dokter yang menyatakan dia mengalami yang disebut mental retardasi atau retardasi mental. Itulah yang menyebabkan dia itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban," tuturnya.
"Bukan gila. Ini bukan gila. Gangguan kejiwaan bukan gila. Mental retardasi itulah yang menyebabkan dia berbuatnya normal dan sebagainya tapi enggak bisa mengkonstruksi berpikir yang secara sistematik. Saya sebutkan usianya 18 tahun namun seperti usia 6 atau 7 tahun," imbuhnya.
Mudzakir pun mengusulkan agar tim kuasa hukum Sudirman memeriksa kondisi fisik dan psikis kliennya ke tim dokter.
Lantas kenapa Sudirman divonis penjara seumur hidup?
"Jangankan dipidana. Dihukum saja itu tidak bisa. Dihukum satu-dua hari tidak boleh," tandasnya.
"Karena dia mengalami kondisi psikologis kejiwaan itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Tertera di KUHP yang berlaku sekarang. Seseorang menderita sakit kejiwaan itu dalam Pasal 44 dinyatakan tidak dapat dipidana," tambahnya.
Sekiranya yang bersangkutan mengalami penyiksaan, kata Mudzakir, maka sempurnalah dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.
"Andai kata dia terbukti tidak dapat dimintai pertanggungjawabkan. Kalau tidak terbukti lebih lagi,wong dia tidak melakukan," ujarnya.
"Karena tekanan-tekanan fisik dan nonfisiknya itu atau tekanan psikologisnya itulah yang membuat yang bersangkutan memberi keterangan. Dan keterangan karena dilakukan paksa maka keterangan itu tidak dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana. Ditambah kondisi kejiwaannya seperti itu keterangan itu tidak berlaku sebagai alat bukti dalam perkara pidana," pungkasnya.