Ntvnews.id, Jakarta - Seorang wartawan yang berposisi sebagai pemimpin redaksi (pemred) di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) ditangkap polisi. Penangkapan ini dikecam rekan sesama jurnalis.
Herry Kabut, yang merupakan Pemimpin Redaksi Floresa, ditangkap aparat Polres Manggarai saat meliput warga Poco Leok. Warga ketika itu melakukan aksi protes atas pematokan lahan proyek geothermal di Kabupaten Manggarai, NTT, Rabu, 2 Oktober 2024.
"Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia mengecam keras tindakan aparat kepolisian ini," ujar Koordinator KKJ Indonesia Erick Tanjung, Kamis, 3 Oktober 2024
Ia menjelaskan, berdasarkan berita yang dipublikasikan melalui floresa.co, Herry diangkut dalam mobil aparat bersama beberapa warga Poco Leok lain yang juga ditangkap. Menurut keterangan warga, kata dia, Herry ditarik dan diangkut paksa ke dalam mobil aparat sambil dianiaya.
"Kejadian tersebut didokumentasi oleh warga setempat," ucapnya.
Adapun proyek yang diproses warga ialah kerja sama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang juga merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030. PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai, kata dia, memaksa masuk ke wilayah Pocoleok untuk membuka akses jalan proyek geothermal pada Rabu kemarin.
Masuknya PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai ini diiringi dengan pengamanan aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Satuan Polisi Pamong Praja.
"Upaya tersebut diadang oleh warga dan direspons oleh aparat dengan pemukulan dan penangkapan," ucapnya.
Erick mengatakan, berdasarkan informasi langsung yang diperoleh dari warga sekitar, aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat dan Satpol PP tidak memperbolehkan warga Poco Leok mengambil gambar. Aparat juga mendorong, mendobrak, sehingga ada beberapa warga yang terluka karena dipukul polisi berseragam lengkap. Berdasarkan keterangan warga, ada sekitar empat orang yang ditahan saat ini dan aparat mengatakan akan melepas mereka, ketika warga aksi bubar. Pemimpin Redaksi Floresa juga ditangkap saat melakukan peliputan.
"Berdasarkan kejadian tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tuturnya.
"'Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta'," imbuh Erick.
Menurutnya, tindak kekerasan oleh aparat keamanan berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat tengah menjalankan profesinya, merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara.
Atas perkara tersebut, KKJ Indonesia mendesak kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik.
Lalu, Kapolri beserta jajarannya diminta untuk menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap para jurnalis yang sedang bertugas dalam melakukan peliputan aksi publik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang.
"Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat undang-undang," tutur Erick.
Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya, didesak untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan.
"KKJ Indonesia mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan," tandasnya.