Ntvnews.id, Jakarta - Selain polisi dan jaksa, hakim juga menjadi unsur yang paling disorot dalam proses peradilan kasus kematian Vina dan Eky di Cirebon pada 2016 silam.
Bahkan dalam salah poin yang dijadikan dalil oleh tim kuasa hukum dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tujuh terpidana kasus Vina di Pengadilan Negeri Cirebon, Jawa Barat adalah adanya kekeliruan dan kekhilafan hakim dalam memutus perkara ini. Pasalnya jika mencermati jalannya Sidang PK enam terpidana termasuk Sidang PK terpidana Sudirman yang tengah berlangsung di PN Cirebon, kuat dugaan bahwa peristiwa yang menimpa Vina dan Eky di 2016 silam adalah kecelakaan tunggal. Bukan pembunuhan.
Jika benar kematian Vina dan Eky akibat kecelakaan itu berarti vonis penjara seumur hidup atas dakwaan pembunuhan berencana terhadap tujuh terpidana adalah putusan yang keliru.
Bagaimana seorang Hakim bisa khilaf atau sesat? Padahal hakim yang kerap disebut sebagai 'Wakil Tuhan' dituntut tidak boleh melakukan kesalahan dalam memutus suatu perkara.
Tentang kekeliruan hakim pada kasus Vina menjadi topik perbincangan dalam acara DonCast di NusantaraTV, Kamis (3/10/2024) dengan bintang tamu mantan Hakim Mahkamah Agung (MA) Profesor Gayus Lumbuun.
Gayus Lumbuun mengatakan ada tiga hal sebagai ukuran dalam melihat semua perkara kejahatan. Pertama ada kejadian semisal pembunuhan atau penganiayaan. Kedua ada perbuatan berkelompok atau sendiri. Kemudian ada keadaan.
"Ketiga-tiganya harus ada persesuaian. Sesuai dalam arti hukum. Hakim mengukur dari situ sesuai ketentuan yang diatur dalam 184 KUHAP," kata Profesor Gayus Lumbuun menjawab pertanyaan yang dilontarkan dua host DonCast, Don Bosco Selamun dan Donny de Keizer.
"Dengan ukuran inilah Hakim akan memutus apa saja dilakukan? Siapa saja yang melakukan? Akibatnya seperti apa? Namun sebagai manusia biasa hakim juga tidak luput dari kemungkinan lalai," imbuhnya.
Di samping itu, kata Gayus, perlu diketahui bahwa dalam criminal justice sistem hakim bertugas di belakang. Hakim tidak melakukan penyidikan ke lapangan dan juga tidak mengetahui rencana penuntutan yang dibuat jaksa.
"Rangkaian proses peradilan ini perlu dipahami masyarakat. Hakim bisa dianggap sesat kalau penyidikannya sesat. Hakim bisa dianggap tidak adil kalau penututannya memang tidak adil," beber Gayus.
Karena itulah negara juga memberi kesempatan untuk upaya hukum luar biasa lewat PK.
"PK Ini bisa memberikan bantahan bahwa Hakim tidak lalai atau Hakim lalai dalam hal apa sehingga ada perbaikan," ujarnya.
"PK ini memang ada kelebihan terdakwa tidak mungkin ditambah. Hukumannya bisa dikurangi atau bahkan bisa dihapus. Ini kelebihan dari ketentuan mengenai PK," pungkasnya.