Ntvnews.id, Jakarta - Indonesia merupakan Negeri Cincin Api atau (Ring of Fire). Sebutan itu disematkan karena banyaknya gunung api baik yang aktif maupun yang tidak di berbagai daerah.
Data menunjukkan dari barat ke timur ada 139 gunung berapi dimana 127 diantaranya berstatus aktif termasuk Gunung Marapi di Sumatera Barat yang meletus pada 29 April lalu.
Keaktifan Gunung Marapi merupakan bahaya yang mengancam dalam senyap.
Pada 11 Mei lalu gara-gara hujan deras lahar dingin dari Puncak Marapi turun ke sejumlah sungai dan menyebabkan banjir bandang lahar dingin. Akibatnya 67 orang meninggal dunia dan 20 lainnya hilang.
Berkaca dari bencana yang terjadi di Sumbar dan beberapa wilayah di Indonesia, mitigasi dan pemetaan terhadap potensi bencana semakin mendesak.
Topik ini diangkat NusantataTV dalam Dialog NTV Prime, Jumat (17/5/2024) dengan menghadirkan tiga narasumber yakni Pakar Gunung Berapi Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Hendra Gunawan dan Ahli Vulkanologi ITB, Mirzam Abdurachman.
"Kita memang di atas gunung api. Dari deretan Sumatera bagian utara sampai ke selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara kemudian belok ke arah utara. Makanya subur. Tanpa gunung berapi Indonesia ini mungkin hanya kapur terbentang tanpa suatu kehidupan," kata Pakar Gunung Berapi, Surono.
Surono mengatakan gunung api bagi Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi memberikan kesuburan bagi lahan. Tapi di sisi lainnya memiliki ancaman.
Menurut Surono potensi risiko sebenarnya dapat dikurangi jika seluruh pemangku kepentingan terutama masyarakat yang hidup di sekitar gunung berapi menyadari bahwa mereka adalah tamu di situ. Karena yang sesungguhnya menjadi tuan rumah adalah gunung api di lokasi tersebut.
Karena itu masyarakat harus respek gunung api selaku tuan rumah. Sehingga dapat memahami bagaimana harus bertindak ketika gunung api di dekat tempat tinggalnya menunjukkan keaktifan hingga akhirnya meletus.
"Ilmu pengetahuan dan teknologi itu banyak sekali dari empiris alam. Kalau kita sombong dengan berkata saya bisa taklukkan alam dengan teknologi. Itu kita sedang berbohong," ujarnya.
Selain sikap respek pada alam, sambung Surono, Pemerintah Daerah juga perlu menggunakan data dasar dalam menata ruangnya. Mencermati yang namanya Kawasan Rawan Bencana, zona keretakan tanah dan lainnya.
"Paling tidak kalau memang tidak ada pilihan lain, dia harus ada solusi bagaiman mengurangsi risiko itu. Dengan cara mendidik masyarakatnya. Dengan sistim warning yang berwawasan masyarakat," ujarnya.
"Status normal, waspada sampai siaga itu bukan untuk meramalkan kapan dan jam berapa intensitas akan terjadi letusan. Tetapi status itu hak gunung berapi untuk beraktivitas juga hak masyarakat untuk mengetahu aktivitas gunung berapi. Dan harus bagaimana dia bertindak. Supaya terwujud living harmony with volcano," pungkasnya.
Mau Belajar
Ahli Vulkanologi ITB, Mirzam Abdurachman berpandangan agar masyarakat bisa hidup secara harmoni di Negeri Cincin Api, mereka harus berubah dan mau belajar.
"Apa yang harus kita lakukan kalau gunung apinya sedang aktif? Apa yang bisa kita manfaatkan kalau kemudian gunung api itu memberikan sesuatu produk yang bisa kita gunakan untuk bermanfaat pada banyak hal," paparnya.
"Kita harus mau berubah dari obyek yang menerima informasi menjadi subyek yang mau belajar. Termasuk kearifan lokal yang terus berubah dari waktu ke waktu," lanjutnya.
"Agar mitigasi berjalan dengan baik berikan masyarakat informasi di waktu yang tepat, dengan cara yang tepat dan bahasa yang mereka pahami," imbuhnya.
Sementara Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Hendra Gunawan yang berada di Bukittinggi dalam rangka mitigasi korban banjir bandang dan lahar dingin Gunung Marapi mengatakan pentingnya untuk mensosialisasikan peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) lebih massif lagi. Peta KRB ini jadi acuan bagi semua untuk merencanakan mitigasi saat terjadi bencana alam.