Hilirisasi Riset Perkuat Daya Saing Bangsa, Nilai Ekspor Capai Rp450 Triliun

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 17 Okt 2024, 18:00
Dedi
Penulis
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Sawit Sawit

Ntvnews.id, Jakarta - Nilai ekspor nikel Indonesia melejit dari Rp45 triliun pada 2015 menjadi Rp520 triliun pada 2023. Inilah berkah hilirisasi yang digaungkan Presiden Joko Widodo dalam sepuluh tahun pemerintahannya. Strategi mendorong program hilirisasi untuk meningkatkan pemasukan negara dan devisa menunjukkan hasilnya. Pemerintah tentunya mengantongi penerimaan yang signifikan dari progres di dalam sektor industri ini. Perjalanan transformasi industri pertambangan itu juga dipengaruhi oleh perkembangan dunia penelitian.

Penggunaan teknologi dan penelitian menjadi sangat signifikan dalam pengembangan hilirisasi berbagai sektor lain seperti pertanian, perkebunan, perikanan, serta minyak dan gas. Sinergi industri dengan lembaga riset dan perguruan tinggi sangat diperlukan agar hilirisasi mengeluarkan hasil yang optimal dalam memproses produk mentah menjadi barang jadi yang lebih bernilai. Presiden Joko Widodo, dalam beberapa kesempatan, menyampaikan pentingnya sinergi lintas lembaga seperti itu.

"Hasil riset yang dihasilkan di lembaga-lembaga riset dan universitas harus tersambung dengan dunia industri sehingga bisa diproduksi secara massal dan segera dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat dan dunia usaha," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas mengenai hilirisasi industri produk-produk unggulan di Kantor Presiden, Jakarta, awal Februari 2020 lalu.

Kebun sawit <b>(Info Sawit)</b> Kebun sawit (Info Sawit)

Pada kesempatan lain Presiden menyoroti pentingnya hilirisasi di industri batu bara. Menurutnya, setiap tahun Indonesia menghasilkan 480 juta ton batu bara, 80 juta ton di antaranya dipakai oleh PLN. Adapun sisanya diekspor dalam bentuk mentah. Padahal dengan pemanfaatan teknologi yang ada, melalui proses hilirisasi dan industri, Indonesia bisa menghasilkan berbagai turunan produk olahan batu bara, mulai dari diethyl ether (DME) sebagai alternatif pengganti liquified petroleum gas (LPG), serta avtur dan solar.

"Kita ini mengimpor 4 juta ton LPG. Kita memiliki bahan mentahnya, tapi kita mengimpor LPG-nya 4 juta ton. Kenapa berpuluh tahun kita bermasalah," ujar Jokowi dalam acara Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) dan Milad Ke-28 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 2018 lalu di Universitas Bandar Lampung, Kota Bandar Lampung.

Menurut Jokowi, tugas pemerintah tidak semata meningkatkan hilirisasi industri. Pemerintah juga mendorong hilirisasi terhadap hasil-hasil riset dan inovasi dalam negeri. Menurut Kepala Negara, industri nasional mampu membuat berbagai produk dengan teknologi unggul. Salah satunya adalah Katalis Merah-Putih yang dikembangkan bersama oleh Institut Teknologi Bandung dan Pertamina. bahan inilah yang membantu mengkonversi crude palm oil (CPO) menjadi bahan bakar nabati.

Melanjutkan Keberhasilan Hilirisasi Sawit

Hilirisasi Sawit Hilirisasi Sawit

Sejauh ini implementasi kolaborasi riset teknologi dan hilirisasi paling sukses di Indonesia adalah pengolahan produk kelapa sawit. Hingga saat ini ada sekitar 200 produk turunan sawit. Jumlah ini naik hampir lima kali lipat dibanding 10 tahun lalu yang tercatat hanya terdapat 45 jenis produk turunan.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengatakan kelapa sawit menjadi model dan contoh sukses dari hilirisasi riset di industri. Dari kelapa sawit bisa dihasilkan produk turunan sawit pangan (oleo food) dan sawit non-pangan (oleochemical). “Ada juga bahan bakar terbarukan (biofuel), hingga material baru ramah lingkungan (biomaterial), pada skala industri berkelanjutan,” kata Putu di acara pembukaan Pekan Riset Sawit Indonesia awal Oktober lalu, di Nusa Dua, Bali.

Menurut Putu, hasil diversifikasi itu turut menyumbang nilai ekspor kelapa sawit dan turunannya yang mencapai Rp 450 Triliun. Angka ini setara sekitar 11,6 persen dari total ekspor nonmigas nasional pada 2023. Di sisi lain, menurut Putu, sektor ini juga telah menyerap tenaga kerja sebanyak 16,2 juta orang, termasuk tenaga kerja tidak langsung yang melibatkan pelaku usaha perkebunan rakyat atau smallholder.

Sesuai potensi besar tersebut, Kementerian Perindustrian mendukung upaya berbagai pihak dalam pengembangan inovasi teknologi industri pengolahan kelapa sawit baik di sektor hulu perkebunan sampai dengan sektor hilir di industri pengolahan. “Kami juga mengupayakan fasilitasi pengembangan teknologi industri melalui penyusunan kebijakan yang pro inovasi, hingga matching antar pihak terkait komersialisasi inovasi baru,” ujar Putu.

Ilustrasi Kebun Kelapa Sawit <b>(Pixabay)</b> Ilustrasi Kebun Kelapa Sawit (Pixabay)

Jokowi juga menekankan peran teknologi dalam hilirisasi kelapa ketika membuka Konferensi dan Pameran Kelapa Internasional (Cocotech) ke-51 di Surabaya pada Juli lalu. Salah satunya untuk mengolah limbah kelapa menjadi bioenergi. Dia menilai inovasi itu sangat penting dan bisa dikembangkan di masa mendatang. “Kemudian kelapa juga bisa jadi bioavtur. Ini juga jadi pekerjaan besar agar penggunaan (kelapa) bisa semakin meningkat dan diminati negara lain,” katanya.

Menurut data Kementerian Perdagangan, Indonesia adalah produsen kelapa terbesar kedua di dunia, setelah Filipina, dengan jumlah produksi mencapai 2,89 juta metrik ton pada 2023. Nilai ekspor kelapa pada tahun itu mencapai US$ 1,55 miliar atau setara Rp25,1 triliun. Dengan adanya kolaborasi riset teknologi dan hilirisasi industri, jumlah tersebut tentu bisa ditingkatkan.

Upaya pemerintah mendorong hilirisasi industri kelapa tertera dalam Peta Jalan Pengembangan Hilirisasi. Targetnya adalah meningkatkan nilai ekspor produk kelapa dan turunannya hingga 10 kali lipat dalam dua dekade mendatang. Alih-alih menjual produk mentah berupa buah kelapa, selama ini banyak pihak yang berusaha mengembangkan produk turunannya, antara lain Virgin Coconut Oil (VCO), arang batok atau briket kelapa, kelapa parut, hingga bahan makanan nata de coco. Nilai tambah produk turunan itu jauh lebih tinggi, bahkan hingga 11 kali lipat, dibandingkan jika hanya menjual kelapa biasa.

Pasar ekspor untuk produk turunan kelapa Indonesia sangat terbuka. Sejumlah negara di Asia seperti Cina, India, Korea Selatan, dan Jepang memiliki kebutuhan tinggi akan produk turunan kelapa untuk keperluan industri makanan, kosmetik, dan farmasi. Permintaan produk turunan kelapa juga datang dari pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Memanfaatkan riset untuk mengembangkanteknologi dan kualitas produk jelas dapat membantu Indonesia memenuhi standar internasional sekaligus menjaga daya saing produknya.

Mendorong Keterlibatan Perguruan Tinggi

Sawit Sawit

Salah satu program penyesuaian riset dan kajian di perguruan tinggi dengan kalangan dunia usaha dan industri digagas oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui platform Kedaireka. Platform ini mendorong hilirisasi riset terapan inovasi/kreasi reka melalui kerja sama dengan dunia usaha dan industri. Program ini mengaktifkan ekosistem inovasi pentahelix yang meliputi akademisi, usaha/industri, pemerintah, komunitas, dan media.

Dalam salah satu programnya, Kedaireka menginisiasi Matchmaking Innovation Forum (MMIF) yang rutin digelar setiap tahun. Ajang ini diselenggarakan bekerja sama dengan program Kerjasama Riset dan Inovasi (KeRIs) Kementerian BUMN. Misinya adalah memfasilitasi pertemuan antara pelaku industri dan para inovator serta peneliti terbaik dari perguruan tinggi di Indonesia.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam, MMIF merupakan bagian dari Ekosistem Kedaireka yang memberi kesempatan bagi mitra industri, pemerintah, dan LSM untuk bertemu, bertukar gagasan, dan berkolaborasi secara langsung dengan perguruan tinggi. “Tujuan akhir kegiatan ini adalah untuk meningkatkan potensi kolaborasi antara pelaku industri dengan insan perguruan tinggi,” ujar Nizam.

Institut Teknologi Bandung menjadi salah satu contoh perguruan tinggi yang terlibat dalam pengembangan hilirisasi. Kampus itu memiliki lembaga khusus untuk hilirisasi riset yang nanti dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan proses pengolahan berbagai sumber daya alam Indonesia. Lembaga tersebut adalah Science Techno Park ITB di Kawasan Gedebage, Bandung. Fasilitas ini merupakan kawasan inovasi ITB untuk mendorong hilirisasi penelitian dan pengembangan kampus ke masyarakat.

Kampus ITB <b>(Google Maps)</b> Kampus ITB (Google Maps)

Guru Besar Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Surjamanto Wonorahardjo mengatakan, Science Techno Park diproyeksikan menjadi pusat inkubasi bisnis dan pengembangan teknologi terkemuka di Indonesia. Fasilitas ini juga menyokong komersialisasi inovasi ITB dan lembaga penelitian lainnya. "Tidak hanya sekadar bangunan saja, STP ini menjadi sebuah ekosistem dan menjadi ujung tombak hilirisasi produk-produk inovasi yang dihasilkan oleh ITB," kata Surjamanto.

Semangat mendorong hilirisasi juga diperlihatkan Universitas Gadjah Mada, salah satunya melalui ajang Inventor Meet Investor (IMI). Kegiatan yang dikemas dalam talkshow, penandatanganan perjanjian kerja sama, mini expo dan networking ini menjadi bagian dari hilirisasi hasil inovasi. Pendekatan yang dilakukan adalah industry driven melalui UGM Science Techno Park sebagai unit intermediasi. Fasilitas ini nantinya juga menjadi wahana produktif berbasis riset dan inovasi yang bersinergi dengan industri dan pemerintah.

“Program Inventor Meet Investor ini akan menjadi sebuah ruang yang dapat mewujudkan kolaborasi industri dan perguruan tinggi dalam menciptakan inovasi-inovasi yang berdampak pada kemajuan perekonomian Indonesia dan penguatan daya saing-daya tangguh bangsa,” kata Wakil Rektor UGM Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha dan Kerja Sama, Ignatius Susatyo Wijoyo di acara IMI pada Juni tahun lalu. 

x|close