Ntvnews.id, Moskow - Pemerintah Rusia telah mengerahkan pasukan dari Pasukan Rudal Strategis, yang biasanya bertugas mengoperasikan senjata nuklir, ke medan perang di Ukraina. Langkah ini dilakukan seiring dengan perubahan doktrin nuklir Rusia di tengah perang dengan Ukraina.
Dilansir dari Newsweek, Jumat, 25 Oktober 2024, menyebut laporan media Ukraina, Militarnyi, pengerahan ini terjadi karena Rusia mengalami kekurangan personel di medan tempur. Unit pasukan tersebut juga dilaporkan menggunakan stasiun radio sipil asal China karena belum dilengkapi dengan peralatan komunikasi yang memadai.
"Pengerahan anggota Pasukan Rudal Strategis oleh Rusia untuk memperkuat upaya perangnya terjadi di tengah laporan yang mengutip data dari Kementerian Pertahanan Ukraina mengenai kerugian besar dalam satu hari," seperti dilaporkan oleh media itu dan dikutip oleh Newsweek.
Baca Juga: Viral Ada Tulisan ‘Pempek Palembang’ di Tank Perang Rusia, Kok Bisa?
Belum ada konfirmasi resmi dari pihak Rusia mengenai hal ini, sementara Ukraina juga belum memberikan tanggapan terkait pengerahan tersebut.
Sebelumnya, pejabat Ukraina melaporkan bahwa pada Rabu pagi, pasukan Rusia kehilangan 1.460 tentara dalam kurun waktu 24 jam. Ini membuat total kerugian personel militer Rusia sejak Februari 2022 mencapai 683.040.
Namun, Rusia tidak rutin mengumumkan kerugian militernya, dan para analis juga meragukan keakuratan laporan dari kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik ini. Meskipun demikian, Moskow secara rutin mengklaim bahwa lebih dari 1.000 pejuang Ukraina tewas atau terluka setiap harinya.
"Baik Rusia maupun Ukraina menghadapi masalah serius dalam hal jumlah personel," ujar William Freer, peneliti keamanan nasional di lembaga pemikir Council on Geostrategy.
"Setelah pasokan amunisi, menggantikan korban adalah faktor terpenting kedua bagi kedua belah pihak dalam upaya memenangkan perang ini," tambahnya.
Baca Juga: Viral, Seorang Pria Berusia 78 Tahun Terungkap Miliki 3 Penis
Konflik antara Rusia dan Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022. Rusia menyatakan bahwa invasinya bertujuan membebaskan etnis Rusia yang tinggal di wilayah timur Ukraina, serta mencegah Ukraina bergabung dengan aliansi NATO, yang dianggap sebagai ancaman bagi Moskow.
Di sisi lain, Ukraina mendapat dukungan signifikan dari negara-negara NATO seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa. Ukraina bahkan mulai menggunakan senjata yang didukung oleh aliansi tersebut untuk melancarkan serangan ke wilayah Rusia.
Situasi ini mendorong Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk mengubah doktrin nuklir negaranya. Dalam doktrin yang telah direvisi, setiap serangan terhadap Rusia oleh negara non-nuklir, yang mendapat partisipasi atau dukungan dari negara nuklir, dapat dianggap sebagai serangan kolektif yang melewati ambang batas penggunaan senjata nuklir.
Perubahan ini berlaku, misalnya, untuk serangan Ukraina yang menggunakan senjata dari negara-negara besar NATO seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Prancis.
Perlu diketahui, dalam sebuah artikel pada tahun 2022, ekonom Nouriel Roubini menyebut eskalasi konflik Rusia-Ukraina sebagai pemicu potensi "perang nuklir." Ia menyatakan bahwa konflik ini bisa menandai dimulainya pertempuran global.
"Dalam beberapa hal, Perang Dunia III telah dimulai," ujar Roubini, yang juga dikenal dengan sebutan 'Dr. Doom', dalam Yahoo Finance's 2022 All Markets Summit, mengutip FinancialTribune.