Ntvnews.id, Jakarta - Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong yang akrab disapa Tom Lembong, kini menjadi sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait impor gula.
Penetapan status ini diumumkan oleh Direktur Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar dalam sebuah konferensi pers yang menarik perhatian media dan masyarakat.
Lantas, bagaimana kronologi kasus ini? Mari simak ulasannya di bawah yang telah dihimpun dari berbagai sumber.
Thomas Lembong (Instagram)
Kejaksaan Agung (Kejagung) kini tengah menyelidiki mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, terkait dugaan kebijakan yang melanggar hukum selama menjabat di era Presiden Jokowi.
Kasus ini berawal pada 15 Mei 2014, ketika rapat koordinasi kementerian menyatakan bahwa Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak diperlukan impor.
Namun, beberapa bulan setelahnya, Tom Lembong mengambil keputusan untuk mengizinkan impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105 ribu ton, yang seharusnya diolah menjadi gula kristal putih (GKP).
Sementara, berdasar Keputusan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian Nomor 257 Tahun 2014, yang hanya memperbolehkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan impor GKP.
Thomas Lembong. (Instagram)
Kebijakan ini diambil tanpa adanya rapat koordinasi dengan instansi terkait, serta tanpa rekomendasi dari kementerian lain untuk memahami kebutuhan gula di pasar. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakpatuhan terhadap prosedur yang berlaku.
Pada 28 Desember 2015, baru diadakan rapat lintas kementerian yang menyimpulkan bahwa Indonesia akan mengalami kekurangan gula kristal putih sebanyak 207 ribu ton pada 2016.
Meskipun demikian, di akhir tahun yang sama, BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) mulai mengimpor gula, namun menunjuk delapan perusahaan swasta untuk melakukan impor tersebut.
Thomas Lembong jadi tersangka kasus impor gula. (YouTube)
Delapan perusahaan swasta ini tidak memiliki izin untuk mengimpor GKM. Mereka hanya memiliki izin untuk gula kristal rafinasi, yang seharusnya diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi.
PT PPI, seolah-olah hanya membeli gula yang diimpor dan diolah menjadi GKP, tetapi pada kenyataannya, gula tersebut dijual langsung ke pasar dengan harga yang jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Dengan harga jual Rp26 ribu per kilogram, harga ini melampaui HET yang ditetapkan Rp13 ribu per kilogram. Selama periode itu, tidak ada operasi pasar untuk menstabilkan harga.
Dugaan kerugian negara akibat kebijakan impor gula yang diambil Tom Lembong mencapai Rp400 miliar, dengan PT PPI diduga mendapatkan fee dari delapan perusahaan swasta sebesar Rp105 per kilogram.