Ntvnews.id, Jakarta - Mantan guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Ing Mokoginta menuliskan surat terbuka. Surat ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto. Ia ingin persoalan mafia tanah yang terjadi di Indonesia, dimana salah satu korbannya adalah dirinya, bisa dituntaskan.
Ia mengaku sudah bertahun-tahun memperjuangkan keadilan atas tanahnya. Namun, hingga kini hal itu belum didapat.
"Saya bersaudara sudah capek tujuh tahun mengemis-ngemis keadilan hanya untuk mempertahankan hak-hak kami," ujarnya, Jumat (1/11/2024).
Menurut Mokoginta, negara selama ini dinilainya abai saat tanahnya di Sulawesi Utara (Sulut) yang seluas 1,7 hektare, diambil oleh pihak yang diduga mafia tanah. Atas itu, ia berharap hal itu berubah semasa negara dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Negara diam saat tanah kami dirampas. Negara diam saat tanah kami dirampok. Negara diam saat hak kami diambil oleh mafia tanah," tuturnya.
Berikut isi surat terbuka Ing Mokoginta kepada Presiden Prabowo selengkapnya:
Surat Terbuka untuk Bapak Jenderal TNI (Hor) (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo selaku Presiden ke-8 Indonesia
Salam hormat Pak Presiden Prabowo Subianto, semoga Bapak sehat selalu.
Perkenalkan saya Prof. Ing Mokoginta, sudah berumur 80 tahun yang dulunya seorang guru besar di IPB sekarang menjadi pengemis keadilan. Saya bersaudara sudah capek tujuh tahun mengemis-ngemis keadilan hanya untuk mempertahankan hak-hak kami.
Negara diam saat tanah kami dirampas. Negara diam saat tanah kami dirampok. Negara diam saat hak kami diambil oleh mafia tanah.
Semua lini peradilan sudah kami tempuh dari Pengadilan Tata Usaha Negara sampai pengadilan negeri dan hasilnya pengadilan memenangkan hak kami, namun apa artinya kami tidak mendapatkan kemanfaatan dan keadilannya, kami tidak bisa menguasai tanah tersebut dan kami hanya bisa melihat tanah kami dikuasai oleh mafia tanah.
Hingga sekarang kami sudah di tahap laporan polisi, empat laporan polisi selama lima tahun di Polda Sulawesi Utara dengan lima kapolda tidak bisa memberikan kepastian dan keadilan kepada kami.
Dua tahun lalu tepatnya Agustus 2022, ada secercah harapan kembali muncul. Laporan polisi nomor LP / 541 / XII / 2020 / SULUT / SPKT ditarik ke Bareskrim Polri yang ditangani oleh Unit III Subdit II Dittipidum Bareskrim Polri dan laporan polisi nomor LP/460/IX/SULUT/SPKT, juga ditarik ke Bareskrim Polri yang ditangani oleh Subdit IV Dittipidum Bareskrim Polri. Namun itu menjadi awal saya menjadi pengemis keadilan di Mabes Polri.
Dengan umur dan kondisi fisik, saya harus berjuang menghadapi ketidakadilan di Bareskrim Polri, begitu banyak alasan yang muncul dari penyidik yang menangani laporan polisi kami, penyidik Unit III Subdit II Dittipidum mereka beralasan tidak memiliki anggaran untuk keberangkatan karena anggaran belum disetujui, apakah harus dari anggaran pribadi saya baru perkara ini bisa berjalan. Kemudian penyidik Unit I Subdit IV Dittipidum sudah memanggil tiga ahli dan seluruh saksi namun juga tidak memberikan kepastian.
Di umur saya yang ke-80 tahun ini saya hanya berharap mendapatkan tujuan hukum itu, apakah saya harus pasrah dan hingga akhir hayat saya tidak pernah melihat keadilan itu Pak.
Halo Pak Prabowo, mungkin hanya melalui surat ini kita dapat berkomunikasi, karena saya bukan terlahir dari rahim seorang ningrat sehingga tidak memiliki koneksi ataupun relasi untuk bertemu Bapak.
Dari hati yang paling dapat, saya meyakini Bapak Prabowo dengan kebijaksanaan, pengalaman, serta ketulusan hati dapat memberikan saya keadilan.
Saya mendoakan Bapak Prabowo panjang umur dan juga saya mendoakan semoga rakyat Indonesia tidak merasakan apa yang saya rasakan.
Hormat saya
Prof. Ing Mokoginta