Ntvnews.id, Jakarta - Donald Trump kembali menjadi Presiden Amerika Serikat usai mengalahkan pesaingnya Kamala Harris pada Pilpres AS 2024.
Kembali berkuasanya Trump mendapat respon beragam dari berbagai kalangan. Ada yang menilai positif namun ada juga yang khawatir kehadiran Trump bakal membuat eskalasi geopolitik akan semakin panas.
Di sisi lain, kepemimpinan Trump juga bakal berdampak terhadap Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Topik ini dikupas NusantaraTV dalam program Special Report saat proses pemungutan suara dan penghitungan suara Pilpres AS dilakukan Rabu (6/11/2024) pagi tadi.
Menurut Associate Professor STIA LAN, Ratri Istania jika Donald Trump yang terpilih, Indonesia harus melakukan antisipasi yang cermat. Pasalnya, menurut Ratri, Donald Trump sulit diprediksi terkait kebijakan politik luar negeri AS yang akan ia terapkan selama memimpin AS untuk empat tahun ke depan.
"Yang kita pelajari dari saat beliau berkuasa sebelum 2020 kemarin. Memang terjadi yang namanya calm. Tapi kalau saya bilang sekarang itu jangan terlalu calm karena calm before the storm. Artinya kita harus antisipasi. Beliau itu bukan seseorang dengan sosok yang biasa. Dia sangat unpredictable, unhints," kata Ratri Istania.
Di bidang ekonomi, kata Ratri, tidak tertutup kemungkinan di bawah Trump
Amerika menjadi sangat protektif. Amerika menjadi isolionis.
"Kita berharap ada kekuatan penyeimbang di Southeast Asia (Asia Tenggara). Misalnya di perairan di Laut Cina Selatan," ujarnya.
Jika melihat kebelakangan saat Trump menjadi Presiden AS sebelum Covid-19. Ratri menilai Trump begitu liar.
"Kita enggak tahu apa yang akan terjadi pada negara-negara yang ada di Southeast Asia. Selama ini ASEAN misalnya saya baru bicara dengan yang mengerti tentang ASEAN. Di ASEAN tidak fokus kepada masalah pertahanan. ASEAN adalah economic operation. Nah kalau melihat logika seperti itu kita butuh Amerika untuk sebagai pasar kita," tuturnya.
Namun dengan kebijakan Trump yang kemudian mengisolasi diri dan kemudian memasang tarif sedemikian besar terhadap China itu membuat pertarungan yang sangat menyulitkan posisi Indonesia.
"Indonesia harus memang mencari partner penyimbang. Mendekati ke China itu adalah salah satu konsekuensi logisnya," ucapnya.
"Sementara Amerika nanti di bawah Donald Trump menarik diri dari perdagangan multilateral China dijadikan musuh kembali untuk menujukan superioritas. Itu akan cukup worry," imbuhnya.
Ratri memprediksi Donald Trump sekarang ini sedang menyusun daftar musuh-musuhnya. Baik di level domestik maupun negara lain.
"Itu yang mungkin perlu kita pahami. Kenapa saya bilang calm before the storm itu kemungkinan harus kita antisipasi seandainya Donald Trump yang terpilih," tuturnya.
"Artinya kita harus menguatkan diri. Menguatkan barisan di antara negara-negara misalnya ASEAN. Politik yang bisa dilakukan oleh Indonesia terkait kebijakan luar negeri harus punya bumper," tambahnya.
Terkait posisi Indonesia yang terkesan condong ke China berpotensi menciptakan permusuhan dengan Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump.
"Saya kira kita harus pintar-pintar politik luar negerinya untuk menempatkan kaki kita," pungkasnya.