Ntvnews.id, Tel Aviv - Menteri Luar Negeri Israel yang baru, Gideon Saar, menolak gagasan pembentukan negara Palestina di tengah konflik yang berlangsung di Jalur Gaza. Menurut Saar, pembentukan negara Palestina saat ini dianggapnya sebagai hal yang tidak "realistis."
Dilansir dari Al Arabiya, Rabu, 13 Novembr 2024, komentar Saar disampaikan tak lama setelah dilantik, dalam menanggapi pertanyaan wartawan terkait kemungkinan pembentukan negara Palestina sebagai imbalan normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.
“Saya kira posisi ini tidak realistis saat ini, dan kita harus bersikap realistis,” ucap Saar.
Baca Juga: Gak Disangka! Topik Ini Jadi Obrolan PM Israel Netanyahu dengan Trump
Saar memperingatkan bahwa negara Palestina kemungkinan akan menjadi "negara Hamas," merujuk pada kelompok militan Palestina yang menguasai Gaza dan terus bertempur melawan Israel dalam lebih dari satu tahun terakhir.
Upaya normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab adalah bagian dari Perjanjian Abraham tahun 2020 yang dimediasi oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Proses ini dapat kembali berlanjut jika Trump kembali menjabat di Gedung Putih pada Januari mendatang.
Pernyataan Saar muncul di saat para pemimpin negara-negara Arab dan Muslim berkumpul di Arab Saudi untuk membahas situasi konflik di Gaza dan Lebanon, di mana Israel juga berperang dengan Hizbullah, sekutu Hamas.
Kementerian Luar Negeri Saudi sebelumnya mengumumkan pertemuan puncak ini pada akhir Oktober lalu di Riyadh, yang bertujuan mendorong pembentukan aliansi internasional untuk mendukung terciptanya negara Palestina.
Baca Juga: Serangan Udara Besar-besaran Hantam Kota Beirut saat Israel Perluas Operasi di Gaza Utara
Perang di Gaza dipicu oleh serangan mendadak Hamas ke wilayah selatan Israel pada 7 Oktober tahun lalu, yang mengakibatkan sekitar 1.200 orang tewas dan lebih dari 250 lainnya disandera. Israel membalas serangan tersebut, menewaskan lebih dari 43.603 orang di Gaza, mayoritas adalah warga sipil.
Sementara itu, Hizbullah yang berbasis di Lebanon dan didukung oleh Iran, mulai melancarkan serangan lintas perbatasan ke Israel sejak serangan Hamas tersebut. Konflik semakin memanas sejak September lalu, dengan Israel memperluas serangan udara dan mengirim pasukan darat ke Lebanon bagian selatan untuk menghadapi Hizbullah.