Ntvnews.id, Jakarta - Dalam sebuah diskusi tentang pentingnya peran media dalam Pilkada 2024 yang digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Anggota Dewan Pers Totok Suryanto mengungkapkan pentingnya kesadaran wartawan untuk menjaga keamanan diri di lapangan.
“Dulu ada namanya konflik Aceh-Darmil. Di situ saya dalam satu diskusi, kampus penyelesaian sekarang Pak Sjafrie jadi Menhan sekarang. Saya usulkan waktu itu bagaimana cara wartawan menjaga dirinya,” ujarnya.
Dalam situasi berisiko, wartawan harus diperlengkapi dengan kemampuan bertahan, karena lembaga-lembaga seperti Dewan Pers atau PWI tidak selalu dapat melindungi mereka. Totok menekankan bahwa perlindungan diri adalah prioritas utama bagi jurnalis.
“Karena tidak bisa Dewan Pers atau PWI atau AMSI atau apa menjaga anggotanya ketika operasi di lapangan. Karena itu adalah dilakukan dengan semacam pelatihan kedaruratan dalam konteks untuk menyelamatkan diri sendiri dulu mana kala ancaman itu tiba,” katanya.
Ilustrasi Jurnalis (FreePik)
Meski Dewan Pers telah membentuk Satgas yang dipimpinnya untuk pelatihan keselamatan, keterbatasan anggaran membuat pelatihan ini hanya bisa menjangkau sejumlah kecil jurnalis di tiap provinsi. Totok tetap menegaskan pentingnya menjaga independensi dan integritas jurnalis saat meliput konflik atau Pilkada.
"Yang pertama, menjaga diri dari sisi kontennya. Dia harus tahu bagaimana dia independen, bagaimana dia imparsial dari konflik yang sedang dia liput. Yang lainnya, saya kira sebagai seorang profesional, dia akan punya dua hal minimal," tambahnya.
Kompetensi dalam membuat konten dan pemahaman yang mendalam tentang aturan-aturan peliputan menjadi landasan bagi jurnalis dalam menjaga netralitas. Selain aspek konten, Totok mengungkapkan bahwa ancaman fisik juga harus diantisipasi.
Anggota Dewan Pers Totok Suryanto (YouTube)
Menurutnya, wartawan harus memiliki keterampilan bela diri untuk berjaga-jaga dari kemungkinan kekerasan di lapangan. “Saya masih berpikir ke depan, perlu saya kira wartawan itu sudah latih bela diri,” tegasnya.
Ancaman terhadap jurnalis dapat terjadi kapan saja, dan mereka perlu memahami potensi risiko yang ada di lingkungan mereka, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Totok juga menyentil masalah nepotisme yang sering kali muncul dalam dinamika politik lokal dan Pilkada.
"Contoh saya sebut misalkan. Kalau di daerah Bupati ada pertama suaminya 2 periode, ganti istrinya 2 periode, periode berikutnya anaknya atau keponakannya. Suaminya jadi, kemudian istrinya jadi kerai," katanya.