Ntvnews.id, Jakarta - Ahmad Heri Firdaus, seorang peneliti dari Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef, menyatakan bahwa jika pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia naik menjadi 12 persen, maka Indonesia akan sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Artinya kalau (PPN) kita jadi di 12 persen, akan jadi yang tertinggi. Apalagi kalau menggunakan skema single tarif ya, ini yang tentu akan memberatkan konsumen yang 95 persen pendapatannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok," kata Ahmad dalam Diskusi Publik Indef 'PPN Naik, Beban Rakyat Naik' yang digelar virtual, di Jakarta, Rabu, dilansir Antara.
Saat ini, negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara adalah Filipina dengan besaran 12 persen. Negara-negara lain seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam menetapkan tarif PPN sebesar 10 persen, sementara Vietnam menerapkan sistem two tier dengan tarif 10 persen dan 5 persen.
Malaysia, di sisi lain, memberlakukan pajak barang dan jasa (good and service tax/GST) dengan tarif sebesar 6 persen.
Ilustrasi Pajak (Istimewa)
Menurut Ahmad, penerapan kenaikan PPN dengan skema tarif tunggal dapat mengakibatkan penurunan daya saing industri karena meningkatnya biaya produksi. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan skema multi tarif.
Secara makro, peningkatan PPN juga akan mengurangi daya beli masyarakat, terutama di tengah inflasi pangan yang cenderung tinggi. Penurunan daya beli ini pada gilirannya bisa berdampak pada penurunan penjualan dan utilisasi di sektor industri.
Selain itu, dampak lain dari kenaikan PPN adalah potensi penurunan penerimaan pajak penghasilan (PPh) karena biaya meningkat sementara permintaan melambat, yang dikhawatirkan akan berdampak pada penyesuaian input produksi termasuk jumlah tenaga kerja.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen ditujukan untuk mengoptimalkan pendapatan negara, namun Ahmad menekankan pentingnya perhitungan yang cermat. Pemerintah perlu mempertimbangkan efek jangka pendek maupun jangka panjangnya.
Ilustrasi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). (Instagram)
"Saya sepakat bagaimana pemerintah mengoptimalkan penerimaan negara, tapi juga harus mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan dan juga bagaimana memerhatikan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah," ujarnya pula.
Lebih jauh, Ahmad menyarankan agar pemerintah juga memaksimalkan upaya ekstensifikasi penerimaan pajak, termasuk cukai, serta optimalisasi penerimaan negara bukan pajak.
Sebagai tambahan informasi, kenaikan PPN menjadi 12 persen ini merupakan bagian dari rencana penyesuaian pajak yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
UU HPP, dalam Pasal 7 ayat 1, mengatur bahwa tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen telah berubah menjadi 11 persen mulai 1 April 2022, dan akan meningkat lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Pada Pasal 7 ayat 3, disebutkan bahwa tarif PPN bisa diatur antara 5 persen hingga maksimum 15 persen.