Ntvnews.id, Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Frederik Kalalembang, menyoroti kelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menghadapi gugatan praperadilan. Hal ini ia sampaikan kepada calon pimpinan (capim) KPK, Ibnu Basuki Widodo, dalam sesi uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
"Nah kita lihat akhir-akhir ini KPK banyak dipraperadilankan dan kalah," ujar Frederik dalam uji kelayakan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 19 November 2024.
Frederik mengkritisi KPK yang dinilainya terlalu menonjolkan operasi tangkap tangan (OTT). Ia juga menilai pelaksanaan OTT KPK tidak sesuai dengan Pasal 1 Ayat 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca Juga: DPR Cecar Calon Pimpinan KPK yang Pernah Bebaskan Terdakwa Korupsi
"Tertangkap tangan itu kan diatur Pasal 1, Angka 19 KUHAP. Nah KPK ini sepertinya tidak mengacu ke Pasal 1," tambahnya.
Frederik kemudian bertanya kepada Ibnu mengenai skema perbaikan yang dapat dilakukan agar pemberkasan perkara KPK ke depan lebih berkualitas.
"Apabila Saudara nanti terpilih dalam KPK, apa yang akan Anda perbaiki supaya KPK ini benar-benar berkualitas? Jadi pemberkasan ini berkualitas. Bukan hanya memberkas. Karena kita tahu KPK ini mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan tidak ada yang mengoreksi," tanya Frederik.
Menanggapi hal tersebut, Ibnu menjelaskan bahwa penetapan tersangka harus memenuhi syarat dua alat bukti yang cukup.
"Jadi di dalam praperadilan, di dalam penetapan tersangka itu perlu adanya dua alat bukti permulaan yang cukup," kata Ibnu.
Baca Juga: 4 Selesai Kemarin, DPR Bakal Uji 6 Calon Pimpinan KPK Hari Ini
Ia juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan calon tersangka diperiksa sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
"Tetapi, bukan hanya itu, sekarang karena adanya putusan MK yang menyatakan bahwa untuk menetapkan tersangka, harus didengar dahulu personilnya, orangnya," ucapnya.
Ibnu menambahkan bahwa pemeriksaan calon tersangka penting untuk mengklarifikasi keterangannya atau menambah bukti pendukung terkait perkara yang diselidiki.
"Sehingga putusan MK tersebut mewajibkan atau supaya meneliti kembali, sehingga ada suatu interaksi atau suatu yang didengar secara langsung dari orang ataupun orang yang akan dijadikan tersangka," jelas Ibnu.