Ntvnews.id, Jakarta - Pulau Sumatera dikenal memiliki sejarah panjang terkait gempa besar dan tsunami. Salah satunya terjadi pada 25 November 1833 pukul 22.00 WIB. Saat itu, gempa berkekuatan antara 8,8 hingga 9,2 SR mengguncang dengan pusat gempa terletak di lepas pantai barat Sumatera.
Kejadian ini disebabkan oleh patahnya segmen palung Sumatera sepanjang 1.000 km. Gempa tersebut terasa sangat kuat di Padang, Sumatera Barat. Awalnya, getaran dirasakan ringan, namun segera diikuti oleh guncangan hebat.
Dalam tweet yang dibagikan oleh Daryono BMKG, ia menceritakan bahwa ada seorang ilmuwan yang menggambarkan kondisi saat megathrust melanda Pulau Sumatera, tepatnya di kawasan yang saat ini menjadi Provinsi Bengkulu.
Ilustrasi Gempa bumi. (Pixabay)
"Diterangi cahaya rembulan, bangunan dan pepohonan bergetar hebat, semburan air muncul di antara retakan tanah, lautan menggelegak dan sungai-sungai luber dilanda tsunami,” demikian keterangan dari ilmuwan Dr. A.F.W. Stumpff, dilansir pada Senin, 25 November 2024.
Tanah longsor tidak hanya dipicu oleh curah hujan yang tinggi, tetapi juga oleh pergerakan massa akibat guncangan gempa bumi. Fenomena ini menunjukkan hubungan erat antara gempa bumi dan longsor, di mana tegangan dinamis yang dihasilkan gempa dapat menyebar ke lingkungan sekitar, mengakibatkan pergerakan tanah yang berpotensi memicu longsoran.
Megathrust Bengkulu 1833 (Twitter)
Daryono menulis bahwa tanah longsor sering kali terjadi sebagai dampak dari gempa bumi yang mengakibatkan ketidakstabilan tanah di daerah rawan. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya longsor, terutama saat atau setelah gempa bumi terjadi.
“Inilah gambaran Tsunami Bengkulu pada 25 Nov. 1833 dipicu Gempa M8,8 - 9,0 menyebabkan kerusakan parah di Maladewa, Sri Lanka, dan Seychelles. Tsunami juga dilaporkan mencapai Australia bagian utara, Teluk Benggala, dan Thailand meskipun dalam intensitas kecil,” tulisnya.