Ntvnews.id, Jakarta - Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai audit keuangan negara bukan cuma bisa dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saja. Tapi boleh dilakukan oleh pihak lainnya.
Hal ini dinyatakan Kejagung dalam sidang gugatan praperadilan penetapan tersangka mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong oleh penyidik Kejagung, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin, 25 November 2024.
Mulanya jaksa yang mewakili Kejagung menyebut bahwa audit keuangan negara bisa dilakukan kapan pun. Termasuk saat penyidik meminta dilakukan audit. Audit juga bisa dilakukan, kendati sudah ada laporan hasil audit dari BPK.
"Terhadap bukti P26 yang merupakan laporan audit BPK, Termohon menyampaikan tanggapan bahwa terhadap Kementerian yang telah dilakukan audit rutin atau tahunan oleh BPK RI, tidaklah kemudian menjadi halangan atau tidak ada larangan dilakukan audit perhitungan keuangan negara atas permintaan dari instansi penyidik," ujar pihak Kejagung.
Audit keuangan negara, kata dia juga bisa dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Audit tersebut, bisa dilakukan sesuai permintaan penyidik.
"Hal ini sesuai ahli perhitungan kerugian keuangan negara yang diajukan oleh Termohon dalam hal ini Evenri Sihombing yang juga menjabat sebagai auditor pada BPKP," tuturnya.
Sebelumnya, dalam sidang praperadilan dengan agenda mendengarkan kesaksian ahli, ahli hukum pidana yang dihadirkan pihak Tom, Mudzakkir, menyoroti tidak adanya laporan resmi dari pihak berwenang soal kerugian keuangan negara dalam kasus yang menjerat Tom Lembong. Padahal, kata dia, tak ada tindak pidana jika tidak ada kerugian keuangan negara.
Pernyataan itu, Mudzakkir kutip dari hakim yang mengadili sebuah kasus korupsi di Lampung. Menurut hakim itu, penetapan tersangka tak sah apabila tidak ada kerugian keuangan negara dalam sebuah kasus korupsi.
"Dan oleh Yang Mulia Hakim pada saat itu disebutkan bahwa tindakan menetapkan tersangka sebelum ada kerugian keuangan negara itu dinyatakan tidak sah," ujar Mudzakkir, Kamis, 21 November 2024.
Penetapan tersangka tidak sah, lanjut dia, karena bukti yang paling mendasar dari pelanggaran Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ialah kerugian keuangan negara.
Jika tak ada kerugian keuangan negara, artinya tidak ada perbuatan pidana.
"Mengapa tidak sah? Karena bukti utama tentang Pasal 2, Pasal 3 itu akhirnya pada kerugian keuangan negara, tak ada kerugian keuangan negara berarti tak ada pidana," tutur Mudzakkir.
"Dan tak ada pidana berarti tidak mungkin seseorang ditetapkan sebagai tersangka," imbuhnya.
Kerugian keuangan negara sendiri laporannya harus dibuat oleh pihak yang berwenang. Laporan dibuat dengan cara audit investigasi keuangan negara.
"Siapa (yang berwenang)? Adalah BPK RI," ucap guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Sementara, pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mempertanyakan asal data kerugian negara akibat dari kebijakan impor gula yang diteken kliennya. Kejagung sebelumnya menyebut kerugian negara dalam kasus itu Rp 400 miliar.
Menurut dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku institusi yang berwenang melakukan audit keuangan negara, tak pernah menyatakan bahwa kebijakan Tom Lembong merugikan negara.
"Tentang kerugian negara, selalu dikatakan bahwa ini sudah ada temuan BPK, kerugian negara. Sampai saat ini, temuan BPK yang kami baca tidak menunjukkan adanya kerugian negara dalam kebijakan yang diambil tersebut," ujar Ari di PN Jaksel, Selasa, 5 November 2024.
Menurut Ari, BPK hanya menemukan hal-hal yang salah, dan meminta perbaikan untuk menegur Dirjen Perdagangan Luar Negeri dan Direktur Impor. Karenanya ia kembali mempertanyakan kerugian negara yang dimaksud Kejagung.
"Jadi kalau dikatakan kerugian negara, kerugian negara dari mana? Karena Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang korupsi itu, delik materil yang betul-betul harus dijelaskan secara limitatif. Tentang actual loss, kerugian negaranya," papar Ari.
"Nah, sampai saat ini kerugian negara yang dimaksud belum jelas. Katanya ada angka Rp 400 miliar, temuan dari siapa? Bagaimana temuannya? Karena dalam putusan Mahkamah Konstitusi sudah dijelaskan. Tidak boleh lagi dalam menyidik perkara korupsi disebutkan tentang potensial loss. Itu tidak boleh lagi. Tapi harus actual loss, kerugian yang nyata," sambungnya.