Ntvnews.id, NTB - Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Barat (NTB) kini tengah mendapat perhatian masyarakat. Penetapan Agus, seorang pria penyandang disabilitas, sebagai tersangka, dianggap aneh oleh publik.
Terkait dengan kasus ini, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel memberikan pendapatnya. Reza menjelaskan bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan tidak hanya berbentuk fisik.
"Ini bisa terjadi secara psikis. Misalnya, ancaman untuk menyebarkan foto telanjang korban jika tidak memenuhi keinginan pelaku," ujarnya dalam pernyataan resmi yang diterima pada Senin, 1 Desember 2024.
Reza menjelaskan bahwa melalui ancaman psikologis semacam itu, pelaku yang penyandang disabilitas bisa saja memaksakan keinginan seksualnya yang tidak baik.
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri
"Dia bisa memaksa korban untuk memenuhi hasrat bejatnya," tambah Reza.
Reza merinci tiga elemen dalam modus intimidasi psikologis. Pertama, authority, yang mengacu pada kemampuan pelaku untuk mengendalikan korban. Kedua, dependence, yaitu ketergantungan korban pada pelaku. Ketiga, exploitation, yang berarti pemanfaatan korban oleh pelaku.
"Elemen pertama dan kedua berkaitan dengan dimensi mental, sedangkan elemen ketiga adalah dimensi perilaku. Jika ketiganya ada, maka kejahatan seksual terjadi, meski pelaku memiliki disabilitas fisik atau tidak," jelasnya.
Reza menambahkan bahwa inti dari pemerkosaan atau kejahatan serupa adalah ketidaksepakatan dari pihak yang terlibat.
Agus Pria Disabilitas Tanpa Tangan Jadi Tersangka (Instagram)
"Artinya, jika kontak seksual tidak disetujui oleh kedua pihak yang berbeda jenis kelamin, itu adalah tindakan pidana," ujarnya dengan tegas.
"Secara fisik, pemerkosaan adalah penetrasi penis ke dalam vagina. Pemerkosaan baru dapat disebut demikian ketika perilaku seksual tersebut terjadi tanpa persetujuan," jelasnya lebih lanjut.
Reza juga menanggapi pandangan bahwa penyandang disabilitas tidak mungkin menjadi pemangsa seksual. Ia mengatakan bahwa banyak orang yang membayangkan pelaku akan mencengkeram korban dan melakukan pemerkosaan, namun mereka lupa bahwa esensi dari pemerkosaan terletak pada niat batin pelaku.
"Esensi pemerkosaan itu ada pada sikap batin, bukan pada aktivitas motorik seksual," tutupnya.