Ntvnews.id, Jakarta - Kasus dugaan praktik kecantikan ilegal yang melibatkan tersangka berinisial RA tengah menjadi perhatian publik. Kuasa hukum RA, Raden Ariya, memberikan penjelasan menarik terkait latar belakang kasus ini.
Menurutnya, tindakan pelaporan terhadap kliennya bisa jadi dipicu oleh persaingan bisnis, bukan semata-mata karena ada korban yang merasa dirugikan.
Baca Juga: Ria Beauty Diciduk Polisi Gegara Ngaku Dokter Kecantikan Padahal Sarjana Perikanan
"Kalau kita lihat sih murni ada dugaan persaingan bisnis karena ini sifatnya laporan informasi masyarakat bukan serta merta ada korban yang merasa dirugikan dan melaporkan kepada pihak Kepolisian," ujarnya dilansir Antara.
Raden juga menjelaskan bahwa jika benar ada korban yang melapor ke polisi, maka perawatan yang dilakukan oleh RA baru bisa dianggap melanggar atau menimbulkan kerugian.
Ria Beauty Malang (Instagram)
Namun, hingga saat ini belum ada laporan konkret yang menyatakan bahwa ada korban yang menderita akibat metode perawatan yang digunakan oleh RA.
"Mungkin dengan dia punya metode perawatan itu menurunkan bisnis dari pada kompetitor yang lain apalagi dia mengatasnamakan dokter tapi dia tidak bisa melakukan metode yang dilakukan oleh RA," jelas Raden.
Meskipun banyak pihak yang meragukan metode yang digunakan oleh RA, kuasa hukumnya membela dengan menunjukkan bukti bahwa kliennya telah mengikuti berbagai pelatihan dan memiliki 33 sertifikat terkait terapi kecantikan.
"Sebenarnya sudut pandang saya beliau tidak salah salah sekali karena beliau mengikuti banyak pelatihan, ada 33 sertifikat dan obat-obatan juga banyak yang terdaftar di BPOM juga, " ucapnya.
Sebelumnya, RA berhasil ditangkap di rumahnya oleh pihak kepolisian di Malang, Jawa Timur.
Diduga ia melakukan praktik medis tanpa memiliki izin resmi. Selain itu, RA ternyata hanya lulusan sarjana perikanan, bukan kedokteran.
Kini, RA bersama rekannya DNJ yang juga bukan seorang tenaga medis, dijerat dengan pasal 435 Jo. pasal 138 ayat (2) dan atau ayat (3) dan atau pasal 439 Jo. pasal 441 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.