Ntvnews.id, Jakarta - Selain Harvey Moeis, empat terdakwa korupsi pengelolaan timah juga menjalani sidang tuntutan. Mereka masing-masing dituntut 8 dan 14 tahun penjara.
Empat terdakwa itu yakni beneficial owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia, Tamron alias Aon; Achmad Albani selaku General Manager Operational CV Venus Inti Perkasa sekaligus General Manager Operational PT Menara Cipta Mulia; Hasan Tjhie selaku Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa dan Kwan Yung alias Buyung selaku pengepul bijih timah (kolektor).
"Hal memberatkan. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Perbuatan terdakwa turut mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, termasuk kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan yang sangat masif. Terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya. Terdakwa telah menikmati hasil tindak pidana yang sangat besar," kata jaksa saat membacakan pertimbangan tuntutan Tamron, Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.
"Hal meringankan. Terdakwa mempunyai tanggung jawab keluarga," imbuhnya.
Selain itu, Tamron juga dituntut denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Ia pun dituntut membayar uang pengganti Rp 3.660.991.640.663,67 (Rp 3,66 triliun) subsider 8 tahun kurungan.
Menurut jaksa, Tamron juga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). JPU menyakini Tamron melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor sebagaimana dakwaan kesatu primer dan Pasal 3 UU TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan kedua primer.
Sedangkan Achmad Albani, Hasan Tjhie, dan Kwan Yung alias Buyung, dituntut 8 tahun penjara. Mereka juga dituntut pidana denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Achmad Albani, Hasan Tjhie, dan Kwan Yung alias Buyung diyakini JPU melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan primer.
Dalam dakwaan jaksa, kasus korupsi ini merugikan negara lebih dari Rp 300 triliun. Kerugian berasal dari kerja sama PT Timah, yang merupakan BUMN, dengan sejumlah smelter swasta.
Kerja sama disebut dilakukan dengan harga lebih tinggi serta tanpa kajian. Kerugian juga dihitung dari kerusakan ekosistem akibat penambangan ilegal.