Ntvnews.id, Hanoi - Pemerintah Vietnam yang menganut ideologi komunis berencana melaksanakan “revolusi” institusional melalui perampingan birokrasi secara besar-besaran dalam beberapa bulan ke depan. Reformasi ini mencakup pengurangan jumlah badan pemerintah dari 30 menjadi 21.
Dilansir dari DW, Kamis, 19 Desember 2024, sejumlah kementerian utama, seperti kementerian keuangan dan investasi, akan digabung. Komisi-komisi di bawah Partai Komunis Vietnam (VCP) yang berkuasa, serta beberapa organisasi media milik negara, juga direncanakan untuk dibubarkan sesuai reformasi ini.
Baca Juga: Shin Tae-yong Sanjung Performa Pemain Timnas Meski Kalah dari Vietnam
Komite Sentral Partai menyetujui rencana tersebut pada 25 November, dan ditargetkan rampung pada April 2025. Nantinya, Vietnam akan memiliki 13 kementerian, empat lembaga setingkat kementerian, dan empat badan pemerintah tambahan.
Rincian Perubahan yang Direncanakan
Perubahan besar melibatkan penggabungan Kementerian Keuangan dengan Kementerian Perencanaan dan Investasi untuk membentuk "kementerian super" bernama Kementerian Keuangan dan Perencanaan Nasional. Kementerian Transportasi akan digabungkan dengan Kementerian Konstruksi, sementara Kementerian Tenaga Kerja, Penyandang Disabilitas, dan Urusan Sosial akan bergabung ke Kementerian Dalam Negeri.
Selain itu, restrukturisasi akan dilakukan pada Partai Komunis dan Majelis Nasional. Sebagai contoh, Komisi Pusat Partai untuk Urusan Eksternal serta Komite Hubungan Luar Negeri Majelis Nasional akan digabung ke dalam Kementerian Luar Negeri.
Beberapa media milik negara, khususnya stasiun radio, juga akan dibubarkan, dan stafnya akan dialihkan ke organisasi berita yang lebih besar. Meskipun belum ada angka pasti, pemangkasan skala besar ini kemungkinan akan memengaruhi ribuan pegawai negeri.
Skala dan Kecepatan Reformasi
Reformasi ini melanjutkan tren pengurangan kementerian yang sudah dilakukan Vietnam sejak awal 1990-an, dari 36 kementerian menjadi 22 pada 2021. Namun, kali ini, skala dan kecepatannya jauh lebih besar. Sekretaris Jenderal Partai Komunis, To Lam, menyebut perubahan ini sebagai “revolusi kelembagaan.”
Nguyen Khac Giang, seorang peneliti di ISEAS Yusof Ishak Institute, menyebutkan bahwa tujuan utama reformasi ini adalah modernisasi aparatur negara, mengatasi inefisiensi, serta merampingkan birokrasi untuk mendukung tata kelola dan pertumbuhan ekonomi. Jika berhasil, reformasi ini akan menjadi warisan besar bagi To Lam dan Perdana Menteri Pham Minh Chinh, yang dianggap sebagai pemimpin berorientasi tindakan.
Reformasi sebagai Respons Ekonomi
Dalam pertemuan Komite Sentral bulan lalu, To Lam menyebut reformasi ini sebagai kebutuhan ekonomi. Ia menggambarkan institusi-institusi lama sebagai “hambatan dalam hambatan” dan menegaskan bahwa reformasi ini bertujuan menciptakan pemerintahan yang “ramping, kuat, efisien, dan berdampak.”
Nguyen Dinh Cung, mantan direktur Central Institute for Economic Management, percaya bahwa reformasi ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi dengan menghilangkan tumpang tindih kelembagaan yang sering kali memperlambat pengambilan keputusan.
Baca Juga: Timnas Indonesia Kalah Tipis Atas Vietnam, Ini Kata Erick Thohir
"Satu lembaga mengharuskan Anda ke kanan sementara lembaga lain menuntut Anda ke kiri. Masalah ini cukup umum terjadi," ujar Cung, menjelaskan betapa perlunya reformasi ini untuk kelancaran investasi dan proyek infrastruktur.
Reformasi ini juga muncul di tengah kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan ekonomi Vietnam, yang bergantung pada ekspor. Hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat, pasar ekspor terbesar Vietnam, menghadapi ketidakpastian menjelang masa jabatan kedua Donald Trump. Ancaman tarif tinggi dan surplus perdagangan besar Vietnam dengan AS menambah tekanan pada pemerintah Vietnam.
Hai Hong Nguyen, dosen senior di VinUniversity, mencatat bahwa meskipun Vietnam telah mencapai status negara berpenghasilan menengah ke bawah, kerangka institusionalnya masih dianggap sebagai penghambat untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih besar.
"Berdasarkan semua indikasi, Vietnam seharusnya berkembang lebih cepat dan berada di tingkat perkembangan yang lebih tinggi," tambahnya.
Dimensi Politik dan Konsolidasi Kekuasaan
Reformasi ini juga mencerminkan konsolidasi kekuasaan politik. To Lam, yang naik menjadi Sekretaris Jenderal Partai setelah kematian Nguyen Phu Trong, terus memperkuat pengaruhnya. Sebelumnya, ia membangun reputasi sebagai pemimpin kampanye anti-korupsi besar-besaran yang dijuluki “tungku yang menyala-nyala.”
Sejak 2021, pejabat dari Kementerian Keamanan Publik, militer, dan kepolisian mendominasi Politbiro, badan pengambil keputusan tertinggi di Vietnam. Dengan reformasi ini, To Lam dinilai ingin menempatkan loyalisnya di posisi strategis, sekaligus menyelesaikan restrukturisasi pemerintahan yang telah lama tertunda.