Ntvnews.id, Jakarta - Saat ini pemerintah telah menetapkan pengembangan 10 Wilayah Metropolitan Prioritas yang masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN). Adapun 10 Wilayah metropolitan tersebut memiliki tema pengembangannya masing-masing.
Wilayah metropolitan ini, antara lain, Mebidangro, Patungraya Agung, Jabodetabekpunjur, Cekungan Bandung, Kedungsepur, Gerbangkertosusila, Banjarbakula, Sarbagita, Bimindo, dan Mamminasata.
Hal tersebut dilakukan, agar dapat mengatasi isu-isu pengembangan wilayah yang tidak dapat tertangani secara sektoral, seperti kepentingan masing-masing pemerintah daerah (pemda), ketergantungan pada wilayah inti yang menjadi pusat bisnis dan pemerintahan, hingga tidak selarasnya rencana pembangunan.
Pelaksana harian (Plh) Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Adwil Kemendagri) Amran mengatakan, urgensi terhadap pengelolaan dan pengembangan metropolitan di beberapa wilayah sudah sangat mendesak. Hal ini terjadi karena semakin maraknya perpindahan penduduk ke kota-kota besar, seperti Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Bandung, Palembang, Surabaya, Medan, Semarang, Banjarmasin, Denpasar, Makasar, dan Manado.
Ia menerangkan bahwa kota-kota besar tersebut mengalami permasalahan beban spasial seperti overcapacity dimana daya tampung kota melebihi beban yang diterima. Saat pusat kota tak lagi cukup menampung penduduk, harga hunian yang semakin mahal, dan juga dampak dari industri yang mulai mengalihkan kantor atau pabriknya ke wilayah sub pusat kota, menjadikan terjadinya perpindahan penduduk ke kota-kota satelit. Sebagai contoh di DKJ, sebagian besar pekerjanya merupakan penduduk yang tinggal di luar Jakarta, yaitu di wilayah Kota Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor.
“Sebagian besar masyarakat metropolitan ini bekerja di pusat kota sehingga untuk sampai ke tempat kerjanya harus bermacet-macetan dan mereka harus menghabiskan waktunya di jalan. Ini kerugian yang besar jika dirupiahkan. Lalu, ada yang bekerja di kantor dan pabrik di pusat kota. Kota satelit kerap kelimpungan dengan perkembangan yang cepat dan pesat karena belum bisa menyediakan fasilitas umum dan memberikan pelayanan publik yang baik,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024.
Amran mengungkapkan, terdapat beberapa masalah klasik yang dihadapi wilayah metropolitan, seperti kemacetan, ketersediaan hunian yang layak, semakin berkurangnya ruang terbuka hijau, transportasi umum, penyediaan air bersih, dan pengelolaan sampah. Menurutnya, semua aspek itu perlu menjadi perhatian utama agar masyarakat yang tinggal di kota tersebut dapat hidup nyaman, sehat, dan sejahtera.
Upaya untuk menangani dampak dari perkembangan wilayah metropolitan ini sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2022 Tentang Perkotaan. Permasalahan yang kerap dihadapi dalam pengelolaan wilayah metropolitan ini adalah pemerintah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota kerap tak bersinergi dalam pengembangan kotanya. Masing-masing pemerintah daerah memiliki program dan kebijakannya sendiri tanpa melihat masalah, kebutuhan, dan solusi yang diperlukan ketika berada dalam satu wilayah aglomerasi.
“Dalam konteks Indonesia, pengelolaan kawasan metropolitan tidak dapat dilakukan secara independen. Pengelolaannya harus tetap berada dalam struktur pemerintahan yang ada. Pengelolaan ini melibatkan pemerintah pusat dan daerah. Intinya, koordinasi dan kerja sama yang baik dalam membangun kawasan metropolitan harus dilakukan antar pemda agar dapat maksimal dalam mencapai hasilnya,” terangnya.
Lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) itu menuturkan, keberadaan metropolitan ini dapat mendorong pemerataan ekonomi dan pembangunan daerah. “Dengan program yang selaras antar pemda dalam satu wilayah metropolitan tentunya dapat mengurangi permasalahan kemiskinan. Asalkan, semua masalah yang terjadi, seperti akses pendidikan sebagai modal penyediaan tenaga kerja dan transportasi umum terintegrasi, bisa ditangani dengan baik,” tegasnya.
Amran juga mengingatkan pemda untuk merancang tata ruang yang baik. Hunian mulai dirancang vertikal untuk menyiasati lahan yang semakin terbatas. Tentunya, pemda harus membangun ruang terbuka hijau sebagai tempat sosialisasi dan menjaga keberlanjutan lingkungan. “Untuk beberapa daerah satelit, harus bisa mempertahankan kawasan produktif, seperti pertanian dan perkebunan. Ini diperlukan untuk menopang kebutuhan wilayah metropolitan itu sendiri,” paparnya.
Dalam pengembangan metropolitan, pemerintah juga dapat melihat best practice pengelolaan kawasan metropolitan dari negara lain, seperti Greater Capital City Statiscal Area Australia, Metropolis Tokyo, dan Metropolitan Seoul Area. “Tidak harus mencontoh sama persis karena ada beberapa perbedaan situasi, demografi, dan lainnya. Kita coba melihat mana yang mungkin diterapkan di sini,” kata Amran.
Ditjen Bina Adwil Kemendagri dalam melakukan asistensi selalu mengingatkan kepada pemda-pemda untuk memetakan masalah dan potensi wilayah sendiri dan sekitarnya. Dari situ, kepala daerah dan organisasi perangkat daerah akan dapat membuat program, kebijakan, dan perencanaan pembangunan yang tepat. Tidak saling tumpang tindih.
“Sehingga dalam satu wilayah metropolitan tidak saling bersaing dan mengembangkan potensi yang sama. Yang baik itu saling menopang kebutuhan, baik pangan, tenaga kerja, sumber air, dan sebagainya. Nantinya, pemda dan masyarakatnya yang merasakan manfaat ekonomi dari integrasi wilayah yang terpadu dan bersinergi tersebut,” pungkasnya.