Ntvnews.id, Jakarta - Ketua MPR Ahmad Muzani mengungkap latar belakang kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini telah ditetapkan dalam undang-undang sejak 2021, meskipun baru akan diberlakukan pada 2025.
“(Pada) 2021 ketika UU ini dibahas, situasinya ketika itu sedang covid-19. Negara ketika itu kondisi sedang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki kemampuan penerimaan. Sehingga negara, semua negara berpikir bagaimana mendapatkan sumber-sumber penerimaan,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 23 Desember 2024.
DPR bersama pemerintah kemudian bekerja sama mencari cara untuk meningkatkan sumber penerimaan negara. “Salah satu sumber penerimaannya adalah meningkatkan sektor penerimaan pajak dari PPN,” jelasnya.
Pada awalnya, DPR bersama pemerintah membahas kemungkinan menaikkan tarif PPN yang berasal dari masyarakat secara bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen hingga 12 persen. Muzani menegaskan bahwa kenaikan pajak ini dilakukan secara bertahap.
Ia juga menyoroti bahwa semua partai politik di DPR saat itu menyetujui kebijakan ini secara bersama-sama. “Karena itu kita ikut menyetujui itu dan kita bersama-sama dengan partai yang lain dan kita setujui itu,” ungkap Muzani.
Sebagai presiden, Prabowo Subianto memiliki kewajiban untuk menjalankan undang-undang yang telah disahkan, termasuk menerapkan kenaikan PPN menjadi 12 persen.
Baca Juga: Minta Kaji Ulang PPN 12%, PDIP: Jadi Bukan Salahkan Pak Prabowo
“Sekarang kita menemui protes. Bahkan teman-teman partai yang tadi menyetujui sekarang ikut mempertanyakan dan seterusnya,” tegasnya.
Muzani menganggap sikap politik beberapa partai terhadap kebijakan ini sebagai sesuatu yang wajar dan merupakan bagian dari proses demokrasi.
"Tetapi semua pandangan, kritik, saran yang berkembang di masyarakat kami terima sebagai sebuah catatan sebelum presiden mengambil keputusan," ujarnya.