Ntvnews.id, Jakarta - Seorang penumpang pesawat ditahan setelah berulah selama penerbangan dengan dugaan mencoba membuka pintu darurat. Insiden ini terjadi pada penerbangan Thai Airways dari Taiwan ke Bangkok, Thailand, pada 19 Desember 2024.
Dilansir dari NY Post, Kamis, 26 Desember 2024, pesawat Airbus A320 sedang berada di ketinggian jelajah ketika seorang pria, yang diduga berkewarganegaraan Thailand, berteriak-teriak dan berlari di lorong pesawat. Tindakannya menciptakan kepanikan di antara penumpang, terutama setelah dia mencoba membuka pintu darurat dan menyerang awak kabin yang mencoba menahannya.
"Selama 10 tahun saya terbang, ini pertama kalinya saya mengalami sesuatu seperti ini," ujar Yaowarat Pradungchat, seorang saksi mata dalam penerbangan tersebut.
Baca Juga: Pria tersebut akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh awak kabin dan beberapa penumpang, kemudian diikat ke kursinya hingga penerbangan selama empat jam itu selesai. Saat pesawat tiba di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, pihak berwenang yang telah menunggu langsung naik ke pesawat dan menangkapnya. Kolonel Polisi Chakpong Nuchpadung, dari Kantor Polisi Bandara Suvarnabhumi, menyatakan bahwa tersangka ditahan setelah dikeluarkan dari pesawat. Namun, pria tersebut kemudian dibebaskan atas dasar kemanusiaan setelah diketahui memiliki riwayat gangguan kesehatan mental. "Keluarganya mengonfirmasi bahwa pria tersebut memiliki masalah kesehatan mental dan sebelumnya telah menjalani perawatan, meskipun mereka tidak yakin apakah dia lupa minum obat," ungkap Chakpong. Baca Juga: Detik-detik Pesawat Jet Pribadi Terjatuh di San Fernando Argentina Pihak perusahaan tempat pria itu bekerja di Taiwan diketahui telah memulangkannya ke Thailand karena kondisi kesehatan mentalnya yang dianggap memengaruhi kemampuannya untuk bekerja. Tes narkoba menunjukkan bahwa tidak ada zat terlarang dalam tubuhnya. Meski tidak ada tuntutan hukum yang diajukan oleh Bandara Suvarnabhumi karena tidak ada kerusakan fisik atau material yang terjadi, pria tersebut bisa menghadapi ancaman hukuman hingga tujuh tahun penjara dan denda besar jika kasusnya diteruskan berdasarkan hukum setempat. Namun, pihak berwenang memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum dengan alasan empati terhadap kondisi kesehatan mentalnya.