Ntvnews.id, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali memvonis terdakwa korupsi pengelolaan timah lebih rendah dari tuntutan jaksa. Kali ini, hakim memvonis salah satu terdakwa kasus itu, Helena Lim dengan hukuman 5 tahun penjara.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, tepat tidaknya vonis hakim dalam perkara korupsi, harus diukur dari nilai kerugian keuangan negara.
"Jadi ukuran sepadan dengan nilai vonisnya oleh hakim itu, harus diukur dari, terutama kasus korupsi pasal 2, pasal 3 (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), nilai kerugian keuangan negaranya," ujar Mudzakkir kepada NTVNews.id, Senin, 30 Desember 2024.
Jumlah kerugian keuangan negara ini, harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan benar-tidaknya. Selanjutnya, kerugian keuangan negara tersebut, dibagi dalam kerugian yang bisa dikembalikan dan yang tidak bisa dikembalikan.
Dari situ, bisa ditentukan apakah vonis hakim terhadap terdakwa perkara korupsi sudah sepadan atau belum.
"Hukuman itu bukan hanya karena nilai kerugian negara saja, tetapi mana yang bisa dikembalikan, mana yang tidak bisa dikembalikan. Atau dengan kata lain apakah harta kekayaan hasil tindak pidana bisa disita negara atau tidak. Bisa disita untuk negara atau tidak," jelas dia.
Jika kerugian keuangan negara yang diperoleh terdakwa, bisa dikembalikan sepenuhnya, menjadi wajar apabila hukuman yang dijatuhkan hakim ringan.
"Jadi kalau misalnya korupsinya Rp 200 triliun, tapi semuanya dikembalikan itu berarti kerugian keuangan negara kembali dipulihkan, melalui hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. Nah kalau itu terjadi tentu saja hukumannya ringan," papar Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta ini.
"Karena hasil tindak pidana bisa sepenuhnya dikembalikan kepada negara atau hasil tambang timah itu sudah sepenuhnya dikembalikan kepada negara," sambungnya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa kerugian akibat kerusakan lingkungan, bukanlah kerugian akibat dari tindak pidana korupsi. Sebab, kedua hal tersebut tak sama dan diatur oleh undang-undang yang berbeda.
Diketahui, majelis hakim telah menetapkan kerugian kasus korupsi pengelolaan timah sebesar Rp 300 triliun. Sebab, jumlah kerugian keuangan negara hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu, telah terbukti di persidangan. Meski begitu, angka kerugian ini terbesar berasal dari kerusakan lingkungan, yakni Rp271 triliun.
Menurut Mudzakkir, tuntutan jaksa atau persidangan terkait kerugian akibat kerusakan lingkungan, seharusnya dibedakan dengan tuntutan terkait perkara korupsi.
"Kalau benar Rp 271 triliun itu perhitungan oleh ahli lingkungan hidup untuk kerugian lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu masuk dalam undang-undang lingkungan hidup. Jadi kalau misalnya menuntut (seharusnya) dua dakwaan. Mungkin nanti setelah tindak pidana korupsi dihukum, setelah itu menuntut kerugian disebabkan kerugian lingkungan hidup," jelas dia.
Karena perkara korupsi dan lingkungan hidup berbeda, tidak bisa para terdakwa dalam kasus korupsi pengelolaan timah, dimintakan pertanggungjawaban total Rp 300 triliun. Jika dimintai pertanggungjawaban terkait kerugian akibat kerusakan lingkungan, seharusnya dilakukan secara terpisah dengan perkara tindak pidana korupsi.
"Jadi tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban Rp271 triliun, karena itu perkara korupsi," tegasnya.
Sebelumnya, selain 5 tahun penjara, hakim juga menghukum Helena dengan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan penjara. Perempuan itu juga dihukum membayar uang pengganti Rp 900 juta.
Jika tak mampu membayar pengganti, harta benda Helena dapat dirampas dan dilelang. Tapi apabila tak mencukupi, diganti dengan 1 tahun kurungan.
Vonis hakim ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Helena dengan hukuman 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun penjara, serta uang pengganti Rp 210 miliar subsider 4 tahun kurungan.
Helena didakwa terlibat kasus korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Menurut jaksa, Helena Lim memberikan sarana money changer miliknya untuk menampung uang korupsi pengelolaan timah yang diperoleh pengusaha Harvey Moeis.
Dari hal tersebut, Helena mendapatkan keuntungan Rp 900 juta. Selain itu, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Helena menyamarkan transaksi terkait uang pengamanan seolah-olah dana CSR dari Harvey Moeis.