MK Hapus Presidential Treshold, Hakim MK Anwar Usman dan Daniel Yusmic Beda Pendapat

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 2 Jan 2025, 18:15
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tim Redaksi
Editor
Bagikan
Mantan Ketua MK Anwar Usman. (Antara) Mantan Ketua MK Anwar Usman. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus Presidential Treshold atau ambang batas minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya, yang jadi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden di pilpres. Meski demikian, putusan ini diambil tak secara bulat.

Sebab ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari dua hakim konstitusi yang mengadili perkara bernomor 62/PUU-XXI/2023 itu.

"Yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh," demikian bunyi putusan MK, Kamis, 2 Januari 2025.

Keduanya hakim beralasan, pemohon yang merupakan empat mahasiswa, tak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan tersebut.

Baca Juga: Ini 4 Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang Bikin MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

Diketahui, pemohon dalam gugatan ini ialah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Keempatnya adalah mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

"Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memiliki pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas hakim konstitusi, khususnya mengenai kedudukan hukum para Pemohon," kata dia.

Menurut Daniel dan Anwar, pihak yang bisa mengajukan gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden, sebenarnya telah ditetapkan oleh MK. Tak bisa sembarang pihak menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum itu, termasuk mahasiswa.

Baca Juga: Ini Alasan MK Hapus Ambang Batas 20 Persen Pencalonan Presiden

Berikut alasan lengkap dissenting opinion Daniel dan Anwar Usman:

1. Bahwa perkara yang diajukan pada pokoknya menyangkut pengujian norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945). Para Pemohon dalam perkara a quo adalah Enika Maya Oktavia (Pemohon I), Rizki Maulana Syafei (Pemohon II), Faisal Nasirul Haq (Pemohon III), dan Tsalis Khoirul Fatna (Pemohon IV) selaku perorangan warga negara Indonesia yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan merupakan pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap pada Pemilu Tahun 2024 [vide bukti P-1 hingga bukti P-3]. Adapun bunyi norma a quo yang dimohonkan pengujian menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

2. Bahwa untuk menentukan dan menilai apakah pihak dalam permohonan pengujian undang-undang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon atau tidak, maka pihak tersebut harus dapat menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu undangundang. Dalam hal ini ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya telah menggariskan pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUUV/2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah menetapkan 5 (lima) syarat/kriteria kerugian konstitusional yang harus terpenuhi secara kumulatif. Ketatnya penerapan keterpenuhan kualifikasi dan kerugian konstitusional tersebut dimaksudkan agar hanya pihak yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum yang cukup yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya dapat diberi kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah (standing to sue). Hal ini sejalan dengan asas/prinsip universal dalam beracara di pengadilan, yakni tiada gugatan tanpa adanya kepentingan (point d’interet point d’action; zonder belang geen rechtsingang). Oleh karenanya, pemohon dalam perkara pengujian undang-undang harus menerangkan secara jelas tentang kualifikasi dan keterpenuhan seluruh persyaratan kedudukan hukum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, dan yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah.

Baca Juga: MK Hapus Ambang Batas 20 Persen Syarat Pencalonan Presiden!

3. Bahwa berkenaan dengan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian sebanyak 33 kali, Mahkamah pada pokoknya telah menegaskan bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma a quo adalah: (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Pendirian Mahkamah tersebut telah dituangkan dalam putusan-putusan sebelumnya, antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Januari 2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum pada tanggal 24 Februari 2022, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Juli 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 September 2023.

Arsip foto - Hakim Konstitusi Anwar Usman mengikuti sidang uji materiil penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja di Gedung MK, Jakarta, Senin (26/2/2024). <b>(ANTARA (Hafidz Mubarak))</b> Arsip foto - Hakim Konstitusi Anwar Usman mengikuti sidang uji materiil penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja di Gedung MK, Jakarta, Senin (26/2/2024). (ANTARA (Hafidz Mubarak))

4. Bahwa pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 bukan berarti bahwa norma a quo “kebal” (immune) untuk diuji, melainkan karena tiadanya kerugian konstitusional pemohon perseorangan warga negara Indonesia in casu para Pemohon a quo dan/atau badan hukum selain pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas oleh berlakunya norma a quo. Hal inilah yang telah berulang kali ditegaskan dalam pertimbangan hukum seluruh putusan Mahkamah mengenai pengujian norma a quo. Pendirian Mahkamah ini pula yang kembali kami pegang teguh saat memutus permohonan pengujian Pasal 169 huruf n, Pasal 222, dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 dengan mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023. Oleh karenanya, dalam kesempatan ini, sekali lagi, kami hendak menegaskan sikap dan pendirian sebagai hakim konstitusi bahwa norma Pasal 222 UU 7/2017 hanya dapat dimohonkan pengujian pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas.

5. Bahwa lebih lanjut, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUUXX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022, Mahkamah pada pokoknya tidak lagi membedakan antara rezim pemilihan antara pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan rezim pemilu, sehingga keduanya adalah sama. Sejalan dengan hal tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Agustus 2024, telah memuat pesan/perintah (judicial order) agar dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi antara undang-undang pemilu dan undang-undang pilkada hingga peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga penyelenggaraan pemilu dapat berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil serta berkepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut secara tegas termaktub dalam pertimbangan hukum paragraf [3.15] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024, hlm. 56, yang menyatakan, “[3.15]... Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah telah menegaskan dalam Sub-paragraf [3.13.2] bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan antara pilkada dan pemilu. Oleh karena itu, ke depan pembentuk undang-undang perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi antara undang-undang pemilu dan undang-undang pemilihan kepala daerah yang selanjutnya diikuti dengan harmonisasi dan sinkronisasi hingga peraturan perundangundangan di bawahnya sehingga penyelenggaraan pemilu dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil serta berkepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945." Dengan adanya pesan/perintah (judicial order) dalam putusan tersebut, maka desain pengaturan mengenai pendaftaran partai politik peserta pemilu, persyaratan calon dan dukungan, penetapan peserta pemilu, pemungutan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara hingga pelantikan dapat ditinjau ulang oleh pembentuk undang-undang in casu DPR dan Pemerintah, termasuk norma a quo yang menyangkut ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Terlebih lagi, setelah dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD periode 2024-2029, pembentuk undangundang sesungguhnya memiliki waktu yang sangat memadai untuk melakukan pembahasan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi dimaksud. Oleh karena itu, dengan menelusuri jejak pendirian Mahkamah secara utuh dan komprehensif dalam putusan-putusan sebelumnya yang menolak permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah perlu melakukan pengendalian diri (restraint) dari kecenderungan untuk “menilai” kembali konstitusionalitas norma a quo pada saat ini dengan menyerahkan kepada pembentuk undang-undang. Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak diperkenankan membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Apalagi jika produk legal policy tersebut tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum tentang legal policy demikian, sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan, “sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.”

6. Bahwa sementara itu, dalam rentang waktu yang cenderung berdekatan dengan permohonan para Pemohon dalam perkara a quo, pengujian norma a quo juga dimohonkan dalam beberapa perkara lainnya sebagaimana diregistrasi dalam Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh 4 (empat) orang dosen yang tercatat sebagai pemilih aktif dalam kontestasi pemilu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh sebuah badan hukum yayasan dan seorang warga negara Indonesia penggiat pemilu, serta Perkara Nomor 129/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh seorang warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih. Oleh karena adanya kesamaan norma yang dimohonkan pengujian dan kualifikasi pihak yang mengajukan permohonan yang dalam hal ini adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dan organisasi yang concern di bidang pemilu, namun bukan pihak-pihak yang memenuhi kualifikasi sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas, maka pendapat berbeda (dissenting opinion) ini juga diarahkan pada perkara-perkara dimaksud.

7. Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Adapun Hakim Konstitusi Daniel dan Anwar, memiliki pandangan berbeda dengan tujuh hakim konstitusi lainnya yang juga mengadili perkara ini. Antara lain Suhartoyo selaku ketua majelis hakim merangkap anggota, Saldi Isra, M. Guntur Hamzah, Arsul Sani, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Ridwan Mansyur, masing-masing sebagai anggota.

x|close