Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold dari 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Direktur Riset dan Komunikasi Kedai Kopi, Ibnu Dwi Cahyo menyebut, ambang batas tetap dibutuhkan, meski angkanya harus lebih rendah. Ia mengusulkan angka 5% hingga 7%, serupa dengan ambang batas pada pemilihan kepala daerah.
“Ambang batas itu tetap penting untuk menjaga kualitas pencalonan, tetapi angkanya tidak boleh tinggi,” ujar Ibnu, dalam keterangan tertulis yang diterima NTVnews.id, Kamis, 2 Januari 2025.
Baca Juga: 4 Fakta MK Hapus Presidential Threshold, Semua Partai Bisa Usung Calon
Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI Ibnu Dwi Cahyo (Dok.Istimewa)
Tanpa ambang batas, Ibnu memprediksi akan muncul tantangan baru. Ia menyoroti potensi membanjirnya jumlah calon presiden bila semua partai politik peserta pemilu bebas mengajukan kandidat. Hal ini, katanya, dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat dan menyulitkan aspek teknis pemilihan.
“Bayangkan kalau ada 30 partai politik, masing-masing mencalonkan presiden dan wakilnya. Itu bisa membuat masyarakat bingung dan menyulitkan penyelenggara. Debat calon presiden pun akan sangat sulit diatur,” kata pengamat lulusan SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah ini.
Baca Juga: Presidential Threshold 20 Persen Dihapus, PPP: Putusan MK Ini Sangat Baik
Ia juga mengingatkan saat pencoblosan nanti, lembaran kertas suara pilpres dengan banyak calon akan membingungkan pemilih.
“Masyarakat akan kesulitan saat mencoblos karena banyaknya foto calon. Ini harus menjadi perhatian serius.”
Ibnu juga menyoroti syarat kemenangan dalam pilpres yang mungkin perlu disesuaikan. Saat ini, pemenang harus meraih minimal 50% suara. Namun, dengan banyaknya calon di masa depan, syarat tersebut bisa menyebabkan pilpres hampir pasti berlangsung dalam dua putaran.
“Syarat 50% suara mungkin akan diubah. Kalau tetap 50% dengan peserta pilpres yang banyak, kemungkinan besar pilpres akan berlangsung dua putaran,” imbuhnya.
Baca Juga: Presidential Threshold 20 Persen Dihapus, PPP: Putusan MK Ini Sangat Baik
Ibnu melihat putusan MK ini membuka jalan bagi tokoh-tokoh populer yang belum memiliki partai politik untuk terjun ke dunia politik. Namun, ia mengingatkan bahwa pencalonan presiden tetap membutuhkan kendaraan politik yang kuat dan logistik yang signifikan.
“Dengan biaya yang sangat tinggi untuk maju sebagai capres atau cawapres, peluang ini hanya akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki dukungan kuat dari partai politik dan sumber daya yang cukup,” katanya.
Kendati begitu, Ibnu menilai keputusan ini sebagai langkah maju untuk menghindari polarisasi masyarakat yang terjadi dalam dua pemilu terakhir.
"Paling tidak, kita bisa melihat putusan MK ini berusaha menghindarkan terjadinya polarisasi luar biasa di masyarakat, seperti dalam pilpres 2014 dan 2019 yang hanya diikuti dua pasang calon,” terangnya lagi.
Kendati begitu, Ibnu mengingatkan DPR agar tidak kembali menetapkan ambang batas tinggi dalam Undang-Undang Pemilu yang baru. Menurutnya, bila DPR menetapkan ambang batas di angka 10% atau 15%, kemungkinan besar aturan tersebut akan kembali digugat dan dibatalkan oleh MK.