MK: Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Syarat Sah Perkawinan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 3 Jan 2025, 17:52
thumbnail-author
Elma Gianinta Ginting
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Tangkapan layar - Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kanan) dan Arsul Sani (kiri) saat sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor: 65/PUU-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Rabu (17/7/2024). Tangkapan layar - Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kanan) dan Arsul Sani (kiri) saat sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor: 65/PUU-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Rabu (17/7/2024). (ANTARA (Fath Putra Mulya))

Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah syarat penting dalam menentukan sahnya suatu perkawinan, sehingga Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak bertentangan dengan konstitusi.

"Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah aspek yang tidak bisa dipisahkan dalam syarat sahnya sebuah perkawinan," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Jumat, 3 Januari 2025.

Kasus ini bermula dari dua warga negara, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, yang mengklaim tidak memeluk agama atau kepercayaan tertentu, yang menggugat Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Pasal tersebut menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan sesuai dengan hukum agama atau kepercayaan masing-masing pihak.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Hapus Kolom Agama di KTP dan KK

Raymond dan Teguh berpendapat bahwa pasal tersebut membatasi hak mereka untuk menikah secara sah karena tidak mencakup warga negara yang memilih untuk tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menanggapi hal ini, Mahkamah menjelaskan bahwa beragama dan berketuhanan merupakan suatu keharusan yang merupakan bagian dari karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, yang telah diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu, menurut MK, tidak memberikan ruang bagi warga negara untuk memilih untuk tidak beragama atau tidak berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dianggap sebagai pembatasan yang sah dan proporsional, bukan bentuk diskriminasi.

MK juga menekankan bahwa perkawinan selalu terkait dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 UU Perkawinan bahkan menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Karena tidak ada ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum yang hanya mengesahkan perkawinan sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing tidak dianggap diskriminatif," kata Arief.

Baca juga: Clara Shinta Tetap Temani Orang Tua Kebaktian Meskipun Sudah Pindah Agama

Lebih lanjut, MK menjelaskan bahwa karena perkawinan merupakan bagian dari ibadah dan ekspresi beragama atau berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka perkawinan bisa dianggap sebagai forum eksternum yang diatur negara dengan menetapkan prosedur dan syarat-syaratnya.

Dengan adanya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara memberikan kewenangan kepada agama dan kepercayaan untuk menentukan syarat sah perkawinan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Berdasarkan alasan tersebut, MK menolak permohonan yang diajukan oleh Raymond dan Teguh. "Dengan pertimbangan hukum tersebut, kami menyatakan bahwa dalil pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak berdasar secara hukum," jelas Arief.

Dalam kasus ini, Raymond dan Teguh juga mengajukan uji materi terhadap UU KUHP baru, namun gugatan mereka ditolak oleh MK. Mereka juga mengajukan uji materi terhadap UU HAM, UU Adminduk, dan UU Sistem Pendidikan Nasional, yang semuanya ditolak oleh Mahkamah.

(Sumber: Antara)

x|close