Ntvnews.id, Paris - Pemerintah Prancis meminta warganya untuk menghindari perjalanan ke Iran di tengah penahanan sejumlah warga negara Prancis di negara tersebut.
Dilansir dari Reuters, Rabu, 8 Januari 2025, Menteri Luar Negeri (Menlu) Prancis, Jean-Noel Barrot, mendesak pembebasan mereka yang disebut sebagai "sandera."
"Situasi rekan-rekan senegara kita yang disandera di Iran tidak dapat diterima. Mereka ditahan secara tidak adil selama bertahun-tahun, dalam kondisi yang tidak layak," ujar Barrot dalam pernyataannya.
Baca Juga: Kerusuhan Malam Tahun Baru Prancis: Nyaris 1.000 Mobil Dibakar, 420 Orang Ditahan
Menurut otoritas Paris, setidaknya tiga warga negara Prancis saat ini masih ditahan di Iran.
Dua di antaranya adalah Cecile Kohler dan pasangannya, Jacques Paris, yang ditangkap pada Mei 2022 dengan tuduhan spionase—kejahatan serius di Iran. Satu warga Prancis lainnya, hanya dikenal dengan nama Olivier, telah dipenjara sejak Oktober 2022. Hingga kini, Paris belum memberikan rincian terkait kasus Olivier.
Barrot menegaskan bahwa pemerintah Prancis terus memantau kondisi mereka dan menyatakan, "Kami tidak melupakan mereka sedetik pun."
Ia juga menyampaikan bahwa meskipun upaya diplomasi di tingkat tertinggi telah dilakukan sejak terpilihnya Presiden Iran Masoud Pezeshkian, situasi mereka justru memburuk.
Baca Juga: Mengupas Identitas dan Tantangan Komunitas Bajau: Perspektif Peneliti Prancis
"Saya mendesak otoritas Iran: para sandera kami harus dibebaskan," tegas Barrot, seraya memperingatkan bahwa hubungan bilateral dan masa depan sanksi turut dipertaruhkan.
Ia juga mengimbau warga Prancis untuk tidak melakukan perjalanan ke Iran hingga semua tahanan dibebaskan.
Iran, yang tidak mengakui kewarganegaraan ganda, telah menahan sejumlah warga Eropa, sebagian besar juga memiliki kewarganegaraan Iran. Kelompok HAM menyebut mereka sebagai "sandera" untuk kepentingan negosiasi.
Pada Desember lalu, seorang jurnalis Italia, Cecilia Sala, ditangkap di Teheran atas tuduhan "melanggar hukum." Penahanan Sala dikecam keras oleh Italia sebagai tindakan yang "tidak bisa diterima."