Banyak Pemuda Israel Tolak Ikut Wajib Militer Perang, Hal Ini Jadi Penyebabnya

NTVNews - 31 Mei 2024, 14:40
Deddy Setiawan
Penulis
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kiri) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan). ANT Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kiri) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan). ANT (Antara/Antadolu/aa)

Ntvnews.id, Jakarta - Pemuda di Israel menolak untuk mematuhi kewajiban militer (wamil) karena mereka tidak sepakat dengan tindakan agresif yang dilakukan oleh pemerintah Tel Aviv di Jalur Gaza, Palestina, yang telah menyebabkan kematian ribuan orang. 

Dilansir dari Anadolu, Jumat, 31 Mei 2024, para remaja di Israel, baik pria maupun wanita, diharuskan untuk bergabung dengan wamil saat mencapai usia 18 tahun. 

Bagi pria, masa wamil berlangsung selama 32 bulan, sementara bagi wanita, wamil berlangsung selama 24 bulan. Mereka yang menolak untuk memenuhi kewajiban militer ini menghadapi ancaman hukuman penjara hingga 200 hari, serta mengalami tekanan dan pandangan negatif dari masyarakat.

Drone Mujahidin Islam Iraq Serang Eilat Israel <b>(mehrnews.com)</b> Drone Mujahidin Islam Iraq Serang Eilat Israel (mehrnews.com)

Meskipun dihadapkan dengan ancaman penjara, beberapa remaja Yahudi menolak untuk mendaftar dalam wajib militer karena mereka memandang bahwa kegiatan tersebut merupakan bentuk penindasan terhadap orang-orang Palestina.

Baca Juga:

45 Tewas Akibat Serangan Israel ke Rafah, Amerika Sebut Tak Melanggar

Bahas Konflik Palestina-Israel, Menlu Retno Desak Negara Eropa Dukung Implementasi Solusi Dua Negara

Seorang remaja Israel, Tal Mitnick (18 tahun), menyatakan bahwa dia menolak untuk mengikuti wajib militer karena merasa bahwa program tersebut menjadi alat penindasan terhadap penduduk Palestina di daerah Bat Yam, yang terletak di selatan Tel Aviv.

"Dalam pandangan saya, tentara Israel adalah simbol dari eksklusivisme Yahudi di wilayah ini. (Tentara Israel) didasarkan pada penindasan terhadap penduduk Palestina, dan saya menolak untuk terlibat dalam hal ini. Sebagai gantinya, saya akan terus berkontribusi dalam advokasi hak asasi manusia," katanya kepada Anadolu. 

Mitnick mengakui bahwa pandangan seperti miliknya merupakan minoritas di Israel. Namun, menurutnya, situasi tersebut mulai mengalami perubahan secara bertahap.

Alih daripada menganggap serangan pada 7 Oktober sebagai sesuatu yang "mengerikan" yang memicu keinginan untuk membalas dendam, Mitnick lebih memilih untuk mengubah dorongan balas dendam menjadi keinginan untuk "menciptakan lebih banyak keamanan bagi semua orang."

Baca Juga:

Serangan Udara Israel Hancurkan 2 Rumah Sakit di Rafah Palestina

Hamas Luncurkan Roket ke Tel Aviv Israel, Sirine Berdentum Kencang

Sebagai seorang remaja yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas (SMA), Mitnick juga mengakui bahwa awalnya dia melihat serangan pertama Israel di Gaza sebagai respons untuk "mempertahankan diri". 

Namun, tindakan militer negaranya kemudian berubah menjadi "agresi terhadap warga sipil" yang menyebabkan kematian ratusan bahkan ribuan jiwa, kebanyakan di antaranya adalah anak-anak.

"Saya menolak untuk percaya bahwa membunuh warga sipil di Gaza akan membawa keamanan bagi semua orang. Itu tidak akan memberikan keamanan bagi siapa pun, baik itu rakyat Gaza maupun Israel. Saya yakin bahwa satu-satunya jalan menuju keamanan dan perdamaian adalah dengan hidup berdampingan," ucapnya.

"Berada di lingkungan liberal seperti Tel Aviv memungkinkan orang-orang untuk memahami posisi saya, dan mereka menghormatinya. Salah satu teman saya saat ini bertugas di Gaza sebagai tentara. Kami berdua memiliki tujuan yang sama untuk keselamatan semua orang, namun kami memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana mencapai keamanan tersebut."

x|close