Ntvnews.id, Jakarta - Keputusan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan terhadap pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota terkait syarat usia calon kepala daerah, menuai sorotan dari banyak pihak.
Melalui putusan tersebut MA dinilai membuka jalan bagi Kaesang Pangarep untuk bisa maju dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024. Pasalnya, belakangan ini putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu santer dikabarkan bakal maju dalam Pilgub Jakarta 2024.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti saat hadir menjadi narasumber dalam Dialog NTV Prime di NusantaraTV, Kamis (30/5/2024) mencoba membedah putusan MA yang dianggap kontroversial itu.
"Penjelasan lengkapnya memang seperti itu. Undang-undang Pilkada terakhir itu Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 7 huruf e berhenti sampai umur saja. 30 untuk calon gubernur/wakil gubernur, 25 untuk calon bupati/wali kota, dan seterusnya. Berhenti di situ titik," paparnya.
"Kemudian Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 menambahkan, dan ini memang lazim. Perlu diketahui juga lazimnya memang begitu namanya juga KPU. Karena mereka menyelenggarakan pemilihan," imbuhnya.
Sebagai komisi penyelenggara pemilihan, kata Bivitri, KPU akan membuat aturan yang selaras dengan operasional. Supaya tidak ada perdebatan di antara para calon.
"Karena biasa berantem ya para calon," ujarnya.
Merujuk pada kewenangannya untuk mengurus proses pemilu, KPU akan membuat aturan 'sejak penetapan pasangan calon'.
"Jadi, yang 2020 begitu bunyinya. Pas sekali, memang peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, kalau di judicial review itu ke MA bukan ke MK (Mahkamah Konstitusi)," tuturnya.
"Jadi, ini pintarnya dari kubu sebelah sana, dibawanya ke MA bukan ke MK. Tapi peraturan KPU nya dikatakan salah, harusnya terhitung 'sejak pelantikan pasangan calon'," tambahnya.
Menurut Bivitri pandangan yang mengatakan bahwa peraturan KPU terkait usia calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan pasangan calon itu tidak logis.
"Karena KPU tidak ada urusan dengan pelantikan," tandasnya.
"Dia (KPU) tidak akan memikirkan secara prospektif, dia memikirkan kapan akan memanage calon-calon itu. Logika dasarnya begitu. Tidak usah fasih dari segi hukum. Kita sudah pasti paham itu logika dasar. Namanya KPU pasti harus mengelola penetapan pasangan calon, pendaftaran dan seterusnya. Tidak soal pelantikan," bebernya.
Bivitri mengakui bahwa kedudukan undang-undang memang lebih tinggi dari PKPU.
Karena itu, undang-undang hanya berhenti di umur. UU tidak menetapkan umur itu terhitung sejak kapan. Atas dasar itu, kemudian peraturan KPU nya menyatakan dihitung sejak penetapan pasangan calon.
"Frasa sejak penetapan pasangan calon itulah yang challenge dan kemudian diubah oleh MA menjadi sejak pelantikan pasangan calon," ujarnya.
"Jadi kalau bicara hukumnya memang tetap sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Tetapi sejak kapan itu yang diubah melalui peraturan KPU," pungkasya.