Ntvnews.id, Jakarta - Salah satu masalah kronis yang dihadapi oleh para pengembang properti adalah mereka seringkali memiliki banyak properti (aset), tetapi minim akan uang kas.
Sumber pendapatan pengembang biasanya berasal dari dua hal, yakni penjualnya properti yang memang diperuntukkan untuk dijual seperti perumahan atau apartemen, dan pendapatan berulang (recurring) berupa sewa dari properti tidak dijual (disewakan) seperti gedung perkantoran atau mal.
Pakar real estate Universitas Cornell, Abdullah Syarifuddin, mengatakan ketika pengembang memiliki properti dengan nilai fantastis, jumlah pembeli potensial yang mampu membeli properti tersebut juga sangat terbatas.
"Perputaran modal itu sangat penting bagi pengembang, terutama jika mereka ingin melebarkan bisnis mereka dan berinvestasi di kota lain yang memiliki potensi strategis," ujar Abdullah kepada wartawan, Rabu, 22 Januari 2025.
Abdullah Syarifuddin, mengilustrasikan pengembang X memiliki sebuah mal megah di pusat kota dengan nilai Rp10 triliun. Dapat dipastikan, kata dia, hanya sedikit perusahaan yang memiliki kemampuan untuk bisa membeli mal ini. Lantas, menurutnya di sinilah peran Real Estate Investment Trust (REIT) yang modern menjadi solusi.
Skema REIT, memungkinkan pengembang X untuk menjual 'sebagian' dari mal ini untuk keperluan modalnya tanpa harus kehilangan seluruh manfaat ekonomi yang ada di properti ini.
"Skema REIT modern mensyaratkan bahwa setidaknya 90 persen dari pendapatan kena pajak harus didistribusikan kepada investor sebagai dividen. Pajak penghasilan badan yang seharusnya dibayarkan oleh REIT sebagai entitas, dialihkan langsung kepada investor dan dipungut saat pembayaran dividen," tuturnya.
Sebagai ilustrasi, melalui skema ini, pengembang X dapat mengerjakan proyek di kota lain senilai Rp4 triliun dengan cara menyerahkan properti malnya senilai Rp10 triliun tersebut kepada REIT dan mengkonversikannya menjadi 10 juta lembar saham REIT dengan harga Rp1 juta perlembar saham.
Pengembang X kemudian dapat menjual 4 juta lembar sahamnya kepada publik untuk memperoleh dana Rp4 triliun, sambil tetap mempertahankan 6 juta lembar saham sisanya.
Selanjutnya, jika properti mal tersebut yang sudah berada di bawah kendali REIT ini menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 100 miliar. Kemudian, REIT memutuskan untuk membagikan 100 persen dari pendapatan bersih tersebut. Maka, pengembang X akan dengan total 6 juta lembar sahamnya akan menerima dividen sebelum pajak sebesar Rp 60 miliar. Yang kemudian penghasilan ini bisa dikenakan pajak sebesar 22 persen-32 persen secara final.
Menurut Abdullah Syarifuddin, saat pengembang X menjual lembar kepemilikan saham REIT, negara juga dapat mengenakan pajak penjualan saham REIT sebesar 2,5 persen.
Sehingga, sebagai contoh ketika pengembang X menjual 4 juta lembar sahamnya untuk bisa mendapatkan Rp4 triliun. Maka negara dapat mengenakan pajak sebesar Rp100 miliar (Rp4 triliun x 2.5 persen), dan pengembang X menerima penghasilan bersih sebesar Rp3,9 triliun.
Dari contoh di atas, kata dia, kita dapat melihat bahwa skema REIT dapat mengaitkan mall milik pengembang X ke pasar modal serta mendongkrak penerimaan perpajakan dari intensitas transaksi jual beli saham REIT.
Pakar real estate Universitas Cornell, Abdullah Syarifuddin.
"Tanpa REIT, potensi penerimaan pajak sebesar 2,5 persen hanya muncul ketika pengembang X memutuskan untuk menjual propetinya secara langsung. Namun, dengan mengkonversikannya menjadi lembar saham pada REIT, nilai dari transaksi properti ini menjadi lebih kecil, namun dikompensasi dengan peningkatan volume transaksi yang signifikan," ungkap Abdullah.
REIT, kata dia sebenarnya sudah ada di Indonesia dengan nama Dana Investasi Real Estat (DIRE). Namun, skema ini belum sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip REIT yang modern. DIRE masih mengalami kendala dari sisi inefisiensi, struktur bisnis, dan perpajakan. Sehingga instrument DIRE ini belum sepenuhnya optimal.