Hashim Djojohadikusumo Sebut Paris Agreement Tak Adil Bagi Indonesia

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 31 Jan 2025, 20:15
thumbnail-author
Adiansyah
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo menyampaikan hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak. Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo menyampaikan hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak.

Ntvnews.id, Jakarta - Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Sujono Djojohadikusumo, mengkritik ketidakadilan dalam Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam sebuah forum yang bertajuk ESG Sustainable Forum 2025, yang disiarkan secara daring pada hari Jumat, 31 Januari 2025, Hashim menyoroti keputusan Amerika Serikat yang menarik diri dari perjanjian tersebut setelah kepemimpinan Donald Trump.

“Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Paris Agreement)?” kata dia, dikutip dari Antara.

Hashim menegaskan bahwa ketidakseimbangan dalam kewajiban pengurangan emisi karbon antara negara-negara besar dan negara berkembang menjadi inti masalah.

Hashim Djojohadikusumo. <b>(Dok.Antara)</b> Hashim Djojohadikusumo. (Dok.Antara)

Amerika Serikat, yang memproduksi sekitar 13 ton karbon per kapita per tahun, jauh lebih besar dibandingkan Indonesia yang hanya menghasilkan 3 ton karbon per kapita per tahun.

Hal ini pun menimbulkan pertanyaan besar tentang mengapa Indonesia harus mematuhi perjanjian internasional yang memaksa pengurangan emisi, sementara negara seperti AS bisa mengabaikannya.

Hashim menambahkan bahwa meskipun Indonesia menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah, negara ini masih diharuskan untuk mengurangi pusat-pusat tenaga listrik berbahan bakar fosil seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).

“Ini adalah masalah keadilan. Indonesia 3 ton, Amerika 13 ton, dan Indonesia yang disuruh menutup pusat-pusat tenaga listrik, tenaga uap untuk dikurangi. Rasa keadilannya di mana?," imbuh dia.

Menurut Hashim, dengan keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement, Indonesia kini menghadapi ketidakpastian besar dalam merencanakan transisi energi yang berkelanjutan.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, juga menyampaikan keprihatinan yang serupa. Menurutnya, keputusan AS keluar dari Paris Agreement telah menciptakan dilema bagi Indonesia dalam pengembangan energi baru dan terbarukan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membantah LPG 3 kg langka dalam beberapa hari terakhir. <b>(Ntvnews.id-Muslimin Trisyuliono)</b> Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membantah LPG 3 kg langka dalam beberapa hari terakhir. (Ntvnews.id-Muslimin Trisyuliono)

Bahlil menggarisbawahi tingginya biaya yang diperlukan untuk mengembangkan energi terbarukan jika dibandingkan dengan penggunaan energi fosil, yang lebih murah dalam jangka pendek.

Namun demikian, Bahlil menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk mengembangkan energi terbarukan, meski tantangan finansial semakin besar. Ini merupakan bagian dari tanggung jawab sosial Indonesia dalam menjaga kualitas udara dan berkontribusi pada upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Pada tanggal 28 Januari 2025, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mengonfirmasi bahwa Amerika Serikat telah memberikan pemberitahuan mengenai pengunduran dirinya dari Perjanjian Iklim Paris.

Perjanjian Paris, yang diadopsi pada tahun 2015 oleh 195 negara, bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah 2 derajat Celsius, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan tingkat suhu pada masa pra-industri.

x|close