Ntvnews.id, Jakarta - Dua petinggi perusahaan swasta divonis pidana penjara selama 6 dan 7 tahun terkait kasus korupsi pengadaan tanah di Pulo Gebang, Jakarta Timur.
Keduanya dinyatakan bersalah atas pengadaan program rumah uang muka (down payment/DP) Rp 0 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Adapun kedua petinggi swasta tersebut, yakni Direktur Operasional PT Adonara Propertindo Tommy Adrian serta pemilik manfaat dan Direktur Utama PT Adonara Propertindo Rudy Hartono Iskandar, dengan masing-masing pidana penjara selama 6 tahun dan 7 tahun.
"Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan pertama penuntut umum," ujar Hakim Ketua Bambang Joko Winarno dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis 6 Februari 2025.
Baca juga: Nahdlatul Ulama Nyatakan Hukum Kepemilikan Laut Adalah Haram
Selain pidana penjara, Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana denda sebesar Rp200 juta masing-masing kepada para terdakwa dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan maksimal selama 3 bulan.
Khusus Rudy, dikenakan pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp27,31 miliar dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka hartanya dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
"Dalam hal terpidana tidak dapat membayar uang pengganti, maka akan dipidana penjara selama 2 tahun," ucap Hakim Ketua.
Dengan demikian, Majelis Hakim menetapkan kedua terdakwa terbukti secara sah dah meyakinkan bersalah telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Dalam menjatuhkan hukuman, Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan tersebut, yakni perbuatan para terdakwa tidak membantu program pemerintah yang sedang giat melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Baca juga: Kerjasama Solusi Layanan Konektivitas Terintegrasi di Pusat Perbelanjaan Summarecon
Kemudian, perbuatan para terdakwa dinilai dapat menghambat proyek pembangunan perumahan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Sementara itu, lanjut Hakim Ketua, terdapat pula hal meringankan yang dipertimbangkan, yaitu meliputi para terdakwa bersikap sopan di persidangan serta tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan.
"Karena korupsi merupakan extraordinary crime, Majelis berpendapat hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan atas diri para terdakwa sekiranya sudah dapat memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan masyarakat," kata Hakim Ketua menambahkan.
Sebelumnya, kedua petinggi swasta tersebut dituntut dengan hukuman yang lebih tinggi dari putusan Majelis Hakim, yakni Tommy selama 7 tahun dan Rudy selama 9 tahun.
Keduanya juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan, sementara Rudy turut diminta agar dijatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti Rp224,21 miliar subsider 5 tahun penjara.
Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk program rumah DP Rp0 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Tommy dan Rudy didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama atau menyalahgunakan wewenang sehingga merugikan keuangan negara dengan total sebesar Rp256,03 miliar.
Baca juga: Ngeri! Ledakan Tabung Gas di Bekasi Sebabkan 2 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit
Keduanya diduga melakukan korupsi bersama mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) Yoory Corneles.
Pada kasus korupsi itu, Yoory disangkakan memperkaya diri sebesar Rp31,82 miliar, sedangkan Rudy diduga memperkaya diri senilai Rp224,21 miliar, yang menjadi penyebab kerugian keuangan negara.
Adapun Yoory sudah terlebih dahulu dijatuhkan vonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada akhir bulan Januari 2025, dengan pidana 5 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1,74 miliar subsider pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan. (Sumber:Antara)