Ntvnews.id, Jakarta - Kongres PDI Perjuangan yang akan berlangsung pada April 2025 mendatang menjadi isu politik yang menyita perhatian publik. Pasalnya, kongres tersebut dihelat dalam situasi penuh tantangan bagi PDIP setelah Hasto Kristiyanto yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal ditetapkan jadi tersanga dalam kasus suap Harun Masiku oleh KPK.
Banyak kalangan memprediksi Hasto Kristiyanto akan digantikan oleh Sekjen yang baru. Lantas siapa sosok yang akan dipilih menjadi Sekjen baru di partai pemenang pemilu legislatif tersebut?
"Kita tunggu kejutan dari Ibu Mega siapa yang akan dijadikan Sekjen? Kalau pergantian ketua umum sepertinya sulit karena seluruh tokoh senior masih menginginkan Bu Mega untuk memimpin PDIP," kata Direktur Riset & Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI Ibnu Dwi Cahyo dalam acara DPO yang dipandu Pemimpin Redaksi NTVNews.id Ismoko Widjaya.
Menurut Ibnu Dwi Cahyo kuatnya dukungan terhadap Megawati Soekarnoputri untuk kembali memegang jabatan Ketua Umum PDIP karena hanya Megawati yang dinilai memiliki kapasitas untuk menjaga soliditas seluruh elemen partai. Mungkin bisa berbahaya bagi PDIP jika Ketumnya bukan Megawati.
"Agar yang di bawah ini tidak terpecah-pecah. Apalagi kalau kita lihat misalkan ini yang menjadi pimpinan PDIP bukan Bu Mega dianggap mungkin bisa berbahaya. Karena ada individu lain yang sama kuatnya. Misalkan Pak Jokowi gitu di luar," ujar Ibnu.
"Ini kan tokoh-tokoh di interal PDIP pasti menginginkan Bu Mega tetap menjadi Ketua Umum untuk menjaga stabilitas," imbuhnya.
Terlebih, kata Ibnu, PDIP sudah kehilangan Jawa Tengah saat Pilpres dan Pilgub 2024. Kekalahan tersebut tak terlepas dari adanya rivalitas PDIP-Megawati dengan Jokowi.
Ibnu mengungkapkan sebenarnya rivalitas PDIP-Megawati dengan Jokowi sudah terlihat sejak 2015-2016 lalu.
"Misalkan di tahun 2015-2016 waktu itu Bu Mega menginginkan Kapolrinnya adalah Pak Budi Gunawan. Tetapi waktu itu kan ada sebuah langkah dari KPK saat itu Abraham Samad dan Bambang Widjayanto menjadikan Pak BG ini sebagai tersangka yang akhirnya itu menjadi alasan bagi Jokowi. Akhirnya yang naik adalah Pak Badrodin Haiti," ungkapnya.
"Kita lihat sebenarnya sudah ada konflik. Cuma waktu itu kan PDIP masih bersama Jokowi, Jokowi masih bersama PDIP. Tetapi bagi yang di internal melihat itu apalagi bahasa-bahasa gestur-gestur politik yang di sampaikan ke publik. Misalkan yang paling kelihatan kan dari Bu Mega ke
Jokowi misalkan di acara PDIP. Bu Mega membahasakan kalau enggak ada PDIP Pak Jokowi jadi apa?" tambahnya.
Puncak ketegangan PDIP-Mgewati dengan Jokowi terjadi saat Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapresnya Prabowo dalam Pilpres 2024. Padahal sebelumnya politisi-politisi PDIP berusaha meyakinkan publik bahwa Jokowi akan mendukung Ganjar Pranowo.
"Memang bahasa cara yang digunakan oleh Pak Jokowi itu tidak langsung membalas di depan. Gaya Solo kerisnya di belakang. Dia membangun jaringan, membangun pasukannya salah satunya untuk membalikan seperti itu. Salah satunya ya di Jawa Tengah beliau menjadikan seorang Muhammad Luthfi itu Kapolda hingga Gubernur. Artinya punya keinginan untuk mengambil alih Jawa Tengah itu dari tangan PDIP," beber Ibnu.
Akankah tergerusnya kekuatan PDIP di Jawa Tengah dalam Pilpres dan Pilgub 2024 bakal memunculkan plot twist di Kongres April 2025 mendatang?
"Saya engga bisa nebak apa yang akan terjadi di Kongres. Akan mungkin ada plot twist yang terjadi. Kita engga tahu," pungkasnya.